Selasa, 30 April 2024

Musim PHK Rame-rame, karena Startup Gagal Mengkonversi Valuasi Jadi Revenue

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Ilustrasi.

Dua perusahaan rintisan atau startup Tanah Air PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) atau LinkAja dan Zenius Education, belum lama ini mengumumkan PHK terhadap ratusan karyawan. Keduanya melanjutkan tren PHK yang juga dilakukan oleh beberapa startup sebelumnya seperti Fabello, TaniHub, dan UangTeman.

Sebelum ini pula beberapa startup Indonesia pada akhirnya juga harus gulung tikar antara lain Airy Rooms, Stoqo, Qlapa, dan Sorabel.

Fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi di sejumlah startup Tanah Air, menurut Nur Yadi mantan koordinator 1.000 startup Surabaya, bisa terjadi karena startup tersebut gagal memanuver valuasi menjadi revenue.

Ia menyebut fenomena ini dengan bubble burst, di mana startup berfokus pada pertumbuhan namun tidak kunjung memperoleh keuntungan.

“Ini sebenarnya bisa diprediksi dari awal karena kalau kita bikin bisnis basisnya bukan dari revenue tapi dari pertumbuhan dan valuasi, pasti akan ada ujungnya. Kalau peningkatan sudah mentok, sudah gak bisa dinaikin lagi, valuasinya pasti akan jatuh di saat yang sudah ditentukan. Cepat atau lambat,” kata Yadi saat mengudara di program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (7/6/2022).

Istilah bakar-bakar uang yang dilakukan startup digital, kata Yadi, untuk mendongkrak pertumbuhan yang signifikan dengan indikator di antaranya jumlah downloader dan user. Namun fokusnya tidak pada revenue alias mencari keuntungan.

Valuasi besar ini, dilanjutkan Yadi, diharapkan dapat membuat startup kian besar yang berujung pada konversi valuasi menjadi revenue.

“Banyak yang gagal di sini. Pada saat lepas promo, bakar duit dilepas saat startup berfokus pada produk, orang akan ninggalin karena muncul lagi produk yang ngasih promo yang besar. Artinya gak jadi akuisisi user. Di startup digital gak ada istilah loyal customer,” ujarnya.

Sementara Werner Murhadi Ketua Program Studi Magister Manajemen Fakultas Bisnis dan Ekonomi Universitas Surabaya (Ubaya) menyampaikan pendapat yang sama. Ia menilai fenomena bubble burst sudah diperkirakan akan terjadi.

“Bisnis startup saat awal dibangun pasti butuh banyak tenaga kerja untuk mengembangkan. Saat sudah berjalan, dengan sistem maka ada tenaga yang dikurangi. Sementara startup digital di Indonesia, marketnya orang harus mau menginstall. Kalau tidak mau menginstall maka investor tidak mau. Agar ada yang mau install maka perlu insentif, akhirnya burn money. Mungkin pertama kali orang akan mencoba install tapi saat gak ada program-program diferensiasi, kekhususan, maka akan uninstall,” ujar Werner.

Bahkan menurut Werner fenomena bubble burst ini dipercepat dengan kondisi ekonomi global, sehingga investor yang akan menanamkan modalnya di startup Indonesia finansialnya terbatas.

Ia pun menilai seharusnya startup tidak hanya berfokus pada valuasi dan pertumbuhan, tapi juga produk yang menguntungkan.

“Dalam bisnis digital tidak ada loyalitas. Startup harus fokus pada merek, bukan produk,” pungkasnya.(dfn/rst)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Kurs
Exit mobile version