Rabu, 1 Mei 2024

Pemerintah Butuh Sokongan Bank Sentral untuk Menjaga Pertumbuhan Ekonomi

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi - Petugas menunjukkan mata uang Rupiah dan Dolar AS di pusat sebuah bank di Jakarta. Foto: Antara Ilustrasi - Petugas menunjukkan mata uang Rupiah dan Dolar AS di pusat sebuah bank di Jakarta. Foto: Antara

Airlangga Hartarto Menteri Koordinator bidang Perekonomian menyatakan, fundamental perekonomian Indonesia mampu memperlihatkan kinerja yang impresif.

Faktor eksternal dan internal, menurutnya menopang pertumbuhan ekonomi nasional di tengah krisis global yang melanda banyak negara di dunia.

“Indonesia faktor eksternalnya masih sangat kuat. Sehingga, tidak termasuk dalam negara yang rentan terhadap masalah keuangan. Dari internal, ekonomi kita kuat karena punya domestic market. Sekarang, konsumsi turut menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi. Diprediksi tahun depan pertumbuhan ekonomi kita antara 4,8–5,2 persen,” ujarnya di Jakarta, Rabu (12/10/2022).

Di sisi lain, Teguh Hidayat Pengamat Pasar Modal mengingatkan nilai tukar Rupiah yang mencatatkan depresiasi hingga 6 persen perlu mendapat perhatian.

Walau pun pelemahan itu masih lebih sedikit dibandingkan pelemahan mata uang negara-negara lain.

“Memang Rupiah turun juga terhadap Dollar. Tapi, dibandingkan mata uang lain pelemahan Rupiah tidak parah. Semisal dibandingkan Poundsterling turunnya sampai 50 persen, Euro 30 persen, nah Rupiah cuma 6 persen,” katanya.

Salah satu faktornya, lanjut Teguh, adalah Bank Indonesia (BI) yang belum agresif menaikkan suku bunga acuan, dibandingkan Amerika Serikat mau pun negara-negara di Eropa.

Sejauh ini, BI menaikkan suku bunga secara terukur untuk menekan inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah.

Teguh mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat impresif dan tangguh menghadapi ancaman resesi dibandingkan negara-negara Eropa yang mengalami krisis energi karena perang Rusia-Ukraina.

“Indonesia malah diuntungkan karena krisis energi. Kita eksportir batubara. Di Indonesia kita diuntungkan nilai ekspor, neraca perdagangan surplus, alhasil pertumbuhan ekonomi kuat, dan Rupiah kuat terhadap Dollar,” ungkapnya.

Keuntungan dari komoditas termasuk sektor energi membuat Indonesia tangguh di tengah tantangan global.

Lebih lanjut, Teguh menyebut kondisi pasar saham juga masih menarik. Secara fundamental, menurutnya tidak masalah kalau IHSG turun, karena dihitung dari awal 2022 masih naik 5-6 persen. Sementara negara lain seperti Thailand Singapura sudah minus.

“Kalau pun IHSG turun, ada faktor psikologis yang mempengaruhi atas berita-berita yang beredar tentang resesi 2023,” imbuhnya.

Sementara itu, Yose Rizal Damuri Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyebut perekonomian Indonesia masih bisa bertahan.

Tapi, Yose mengingatkan tantangan perekonomian ke depan akan semakin berat.

“Perekonomian kita pasti bisa bertahan. Tapi, kondisi akan semakin buruk ke depan,” terangnya.

Sekarang, Yose melihat Pemerintah masih bisa menahan kenaikan harga barang. Sehingga inflasi masih terjaga.

Kondisi akan lebih sulit ke depan karena penerimaan Pemerintah dari ekspor komoditas seperti mineral dan kepala sawit akan menggalami penurunan. Sehingga, membuat Pemerintah harus mengurangi subsidi.

Supaya perekonomian tetap stabil, Yose mendorong BI menaikkan suku bunga acuan sebagaimana yang dilakukan bank sentral negara lain, terutama The Fed. Karena, penurunan devisa Indonesia sudah hampir 10 persen.

“Kita tidak bisa terus-terusan mengalami defisit seperti itu. Jadi, bank sentral juga harus menaikkan suku bunga. Akibatnya, depresiasi mungkin harus terjadi dan agak lebih kencang dibanding sekarang,” tambahnya.

Strategi untuk tidak tidak menaikkan suku bunga acuan, lanjut Yose, juga berimbas pada pelemahan nilai tukar Rupiah pada Dollar AS.

“Itu terjadi karena bank sentral kita selama ini tidak menaikkan suku bunga. Sehingga, terjadi perbedaan signifikan antara suku bunga dalam negeri dengan suku bunga bank sentral lain, dan terjadi capital outflow. Mungkin pelemahan Rupiah akan semakin kelihatan ke depan,” tambahnya.

Kebijakan menaikkan suku bunga BI, lanjut Yose, merupakan alternatif untuk mencegah defisit devisa dan memperkuat nilai tukar Rupiah.

Walau pun ada efek pelambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia kalau itu diterapkan.

“Menaikkan suku bunga acuan, konsekuensinya pertumbuhan ekonomi akan melambat,” ucapnya.

Berdasarkan data yang dipegang Yose, mata uang Indonesia termasuk yang terkuat dibanding negara lain. Bahkan, nilai tukar Rupiah menguat terhadap mata uang Jepang, Australia, dan Singapura.

“Kita sebenarnya hanya melemah pada Dollar AS. kalau pada yang lain seperti Yen Jepang, Dollar Australia dan Dollar Singapura kita justru menguat,” pungkasnya.(rid/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Kurs
Exit mobile version