Endang Ernawati, pendiri dan pemilik Museum Layang Layang Indonesia mengatakan perkembangan bisnis layang-layang lokal dihancurkan oleh produk dari China.
Hal senada diakui Suprianto pengrajin layang-layang dari Cilacap Jawa Tengah. Menurutnya, sekitar tahun 1994-2006, itulah puncak kejayaan para pebisnis layang-layang di Tanah Air. Setelah itu, datang produk dari China yang merusak harga.
“Satu layangan dulu bisa terjual Rp50 ribu. Tapi, begitu layangan China masuk ke pasar dunia, satu layangan hanya laku Rp5 ribu. Ini keterlaluan,” kata pria yang 25 tahun hidup dari layang-layang ini.
Suprianto juga mengeluhkan, pemerintah Indonesia kurang perhatian dalam memfasilitasi para pebisnis layang-layang lokal. Berbeda dengan di China, para pengrajin layang-layang yang sudah home industry difasilitasi penuh.
“Itulah bedanya pemerintah kita dan negara lain. Kami tetap berjuang sendiri,” ujarnya.
Menurut dia, upaya memulihkan pasar dilakoni sendiri para pengrajin dengan terus konsisten menjaga kualitas produk. Sehingga, lambat laun, banyak konsumen kembali ke layang-layang Indonesia.
“Konsumen mulai balik ke kita karena kecewa. Layangan China tidak awet. Sementara kualitas kita sampai tahunan,” ujarnya.
Cara bisnis layang-layang ini menurut Suprianto dimulai dari hobi. Setelah menekuni hobi kemudian mendapat prestasi dari barbagai lomba.
“Setelah prestasi, pasti dikenal orang dan dapat jaringan. Di situlah kami kemudian berbisnis. Konsumen kami antar negara,” katanya.
Suprianto mengaku, setiap event layang-layang tingkat Internasional dia selalu membawa dagangan layang-layang. “Kalau di Malaysia, kami dapat pesanan,” katanya.(din/dop/dwi)
Teks Foto:
– Salah satu layangan naga dalam posisi sebelum diterbangkan. Membuat layang-layang dengan panjang 70-100 meter ini membuthkan waktu sebulan dan biaya jutaan rupiah.
Foto: Abidin suarasurabaya.net