
Di balik setiap eksploitasi sumberdaya ekstraktif selalu menyimpan kutukan sumber daya alam yang nyata dan pernah terjadi di beberapa negara di Afrika dan Timur Tengah. Bahkan Belanda pada tahun 1960 pernah mengalaminya. Jika tidak diantisipasi fenomena kutukan juga akan terjadi di Bojonegoro yang saat ini menikmati pendapatan dari eksploitasi minyak dan gas (migas).
“Beruntung awal jadi bupati, saya diingatkan bahaya natural resources curse (kutukan sumber daya alam,red). Di Indonesia, kutukan sumberdaya alam juga pernah terjadi di beberapa provinsi maupun kabupaten/kota penghasil migas. Pendapatan pemerintah lokal meningkat, namun pertumbuhan kesejahteraan rakyat tidak signifikan sampai sumber daya ekstraktifnya akhirnya habis,” kata Suyoto, Bupati Bojonegoro, ketika ditemui di Pendopo Kabupaten Bojonegoro, Sabtu (3/9/2016).
Kang Yoto, begitu warga Bojonegoro biasa menyapa mengisahkan pada tahun 2008 saat awal jadi bupati, Bojonegoro baru saja diterjang banjir besar dan terparah sepanjang dekade 100 tahun terakhir. Seluruh jalan rusak, jembatan dan tanggul banyak yang ambrol, rumah-rumah warga dan lahan pertanian juga porak poranda.
Pada tahun itu, pemerintah kabupaten (pemkab) juga memiliki tanggungan hutang proyek sebesar Rp350 miliar yang harus dibayar. “Saya dihadapkan pada APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang hanya Rp840 miliar dimana Rp600 miliar untuk gaji 12 ribu pegawai. Padahal di sisi lain infrastruktur rusak dan masih ada hutang Rp350 miliar,” kata Kang Yoto.
Kini perekonomian Bojonegoro mulai membaik setelah adanya produksi migas dari lapangan migas Banyu Urip dan Sukowati. APBD yang awalnya hanya Rp840 miliar, pada tahun 2016 ini melonjak menjadi Rp3,4 triliun (termasuk silpa dua tahun berturut-turut). Pendapatan dari dana bagi hasil migas menjadi pemasok tertinggi APBD Bojonegoro. Tiap tahun, Bojonegoro mendapatkan pasokan dana bagi hasil migas sekitar Rp1,4 triliun.
Kang Yoto, mengatakan, Bojonegoro kini mendapatkan peluang keluar dari kemiskinan dan mempercepat perwujudkan kesejahteraan lewat peluang eksploitasi migas. Namun peluang itu tidaklah otomatis.
“Saya membayangkan ibarat sebuah perjalanan sejarah. Bojonegoro sedang dihadapkan pada tiga pilihan,” kata dia. Tiga pilihan itu adalah, masa depan nestapa; senang sesaat kemudian nestapa berkelanjutan; atau menunda kenikmatan kemudian maju berkelanjutan.
Masa depan nestapa, bisa terjadi bila masyarakat Bojonegoro saling bertikai saat ada peluang pekerjaan, bisnis dan kemudian mengelola pendapatan dari migas dengan cara gegabah. Pilihan pertama ini bisa dilakukan dengan menghamburkan uang untuk belanja fisik yang tidak relevan dengan kebutuhan dasar masyarakat serta korupsi merajalela.
Ada juga pilihan senang sesaat, yang bisa diambil Bojonegoro. Jika memilih jalan ini, kata Kang Yoto, maka nestapa berkelanjutan tetap akan menghantui. “Kemungkinan akan terdengar lebih baik, pendapatan migas dikelola dengan transparan. Pendapatan maupun belanja dioptimalkan masuk dalam APBD selama 7 tahun masa keemasan. Di mata publik Bojonegoro akan segera luar biasa, APBD mencapai Rp4 triliun, termasuk kelompok tinggi di Jawa Timur,” kata dia.
Jika pilihan kedua diambil, bisa dipastikan berbagai bangunan mercusuar akan segera bermunculan, gedung, jalan, jembatan dan belanja sosial akan menjadi tinggi. Sebagai daerah dengan pendapatan tinggi, Bojonegoro akan tampak gagah, tidak perlu Dana Alokasi Khusus (DAK) bahkan Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah pusat.
Padahal, sebagaimana diproyeksikan sejak awal, produksi migas di Bojonegoro akan mencapai titik puncak dalam 3 tahun, dan pendapatan Bojonegoro yang tinggi, paling lama hanya akan bertahan kurang dari 7 tahun.
Karenanya, bupati dua periode ini mengaku memilih untuk menunda kenikmatan yang berujung pada berat sesaat namun kemudian maju berkelanjutan. “Diistilahkan sebagai masa depan gemilang, harus dilalui dengan kesanggupan menunda kenikmatan, popularitas, gemerlap, sebaliknya pikiran yang fokus pada apa saja yang membawa pondasi pembangunan berkelanjutan Bojonegoro harus dilakukan,” kata dia.
Berfokus Pada Sektor Non Migas
Dengan mengambil pilihan ketiga, kini Bojonegoro tak silau dengan kenikmatan migas dan mulai fokus untuk menata dan mengembangkan sektor non migas. Berbagai kawasan wisata baru dibangun. Sektor UMKM juga diperkuat. Dari sektor pariwisata dan UMKM, masyarakat diharapkan bisa mandiri tanpa harus menggantungkan sektor migas.
Kini Bojonegoro sedang membangun kawasan-kawasan wisata baru. Salah satu andalannya adalah hadirnya Agrowisata Belimbing yang ada di Desa Ngringinrejo, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro.
Suarasurabaya.net, pada Minggu (4/9/2016) berkesempatan melihat langsung kawasan Agrowisata yang berada persis di tepi Bengawan Solo itu. Saat itu, waktu masih menunjukkan pukul 08.00 WIB, namun puluhan pengunjung sudah mulai berdatangan untuk menikmati petik langsung belimbing di perkebunan milik warga yang ada di kawasan itu.
Supangat, 59 tahun, salah satu pemilik kebun masih sibuk merapikan puluhan buah blimbing seukuran dua kali gelas air minum kemasan. Belimbing-belimbing jumbo itu dia petik sendiri dari salah satu petak kebun yang ada di kompleks Agrowisata itu.
Di area Agrowisata, Supangat adalah salah satu pedagang belimbing yang cukup dikenal karena selalu menjuarai kontes belimbing di desa itu. Tahun lalu misalnya, satu belimbing berukuran 9,8 ons jenis Bangkok miliknya menjadi pemenang kontes adu bobot dan adu cantik buah belimbing, sehingga Supangat berkesempatan menyuguhkan langsung belimbingnya kepada Bupati Bojonegoro.
Di kompleks Agrowisata itu, Supangat memiliki seperempat hektar lahan dengan jumlah pohon belimbing sebanyak 40 pohon. “Dalam sehari kalau pas hari minggu bisa laku hingga Rp1 juta,” kata dia. Satu kilogram belimbing, petani di kawasan itu sepakat untuk menjualnya Rp12 ribu.
Kebun belimbing yang ada di Desa Ngringinrejo merupakan Agrowisata baru yang telah disahkan pada acara Anugerah Wisata Jawa Timur 2014 untuk menjadikan lokasi kebun belimbing menjadi obyek wisata lokal.
Muhammad Syafii, Kepala Desa Ngringinrejo mengatakan, Agrowisata Belimbing ini bermula ketika empat warga sekitar yaitu Mbah Zainuri, Mbah Suyoto (Alm), Mbah Abdul Gani dan Mbah Usman bersama Penyuluh Pertanian bernama Soeharto mencoba sebuah inisiatif baru agar kawasan di bantaran Bengawan Solo ini bisa produktif meskipun berada di daerah langganan banjir.
“Pada tahun 1984, mereka ini lantas mencoba menanam belimbing yang dibeli dari Desa Siwalan Tuban yang konon katanya tanaman tersebut tahan banjir dan hasil buahnya memiliki daya jual cukup mahal dan banyak diminati banyak orang,” kata Syafii.
Memang sejak tanam hingga penen membutuhkan waktu hingga 4 tahun, namun kegigihan mereka akhirnya membuahkan panen yang melimpah hingga akhirnya warga sekitar juga tertarik untuk mengikuti jejak Mbah Zainuri ini.
Satu-persatu warga akhirnya ikut menanam. Saat ini, warga Ngringinrejo bahkan sudah berhimpun dalam sebuah wadah bernama kelompok tani Mekar Sari dan telah beranggotakan 104 orang dengan jumlah lahan belimbing hampir separuh dari luas lahan desa Ngringinrejo.
Kesuksesan warga Ngringinrejo ditangkap oleh Pemkab Bojonegoro. Kini pemkab terus mengkampanyekan kawasan Agrowisata Belimbing. Berbagai fasilitas di sekitar kawasan itu juga dibangun. Jalanan diperhalus dan gapura desa juga diperbaiki. Beberapa gazebo juga dibangun sehingga jumlah pengunjung di kawasan itu terus bertambah.
Warga sekitarpun kini bisa memanen keuntungan sehingga mereka tak lagi silau dengan hasil migas Bojonegoro. “Bagi kami, migas itukan pemerintah yang kelola, prinsipnya uang migas biarlah untuk perbaikan jalan dan tanggul sungai diperkuat, sehingga pengunjung Agrowisata Belimbing bisa terus meningkat,” kata Priyo Sudarso, Ketua Kelompok Tani Mekar Sari.
Teksas Wonocolo
Bojonegoro benar-benar ingin keluar dari kutukan migas, bahkan lokasi tambang rakyat yang ada di Wonocolo-pun disulap menjadi daerah yang ramah dan bisa dijamah para wisatawan. Jika dulu hutan Wonocolo yang ada di Kecamatan Kedawen dikenal angker bagi pendatang, kini jalanan menuju kompleks tambang rakyat Wonocolo menjadi lebar dan mulus.
Mochamad Tarom, Camat Kedawen menyebutkan, minyak yang ada di Desa Wonocolo ini sempat menjadikan desa di tengah perbukitan hutan jati ini menjadi yang terkaya di Bojonegoro pada era 1979. Balai desa pun saat itu dibangun megah dan termewah di Bojonegoro.
Tambang minyak tradisional di Kedawen tersebar di lima desa, yakni Wonocolo, Hargomulyo, Beji, Kedewan, dan Desa Kawengan, dengan total lebih dari 500 titik pengeboran. “Tapi saat ini tidak semuanya bisa berproduksi,” katanya.
Dia memprediksi, aktivitas eksplorasi sumur-sumur tua ini tidak akan lama lagi, karenanya berbagai upaya dilakukan. Pemerintah Bojonegoro dan Pertamina EP Asset 4 Field Cepu yang membawai kawasan eksplorasi sejak April 2016 lantas menetapkan kawasan itu sebagai destinasi wisata migas di Kabupaten Bojonegoro.
“Kebijakan itu agar warga penambang tidak terus berharap pemasukan dari aktivitas penambangan, ada alternatif sektor wisata yang bisa dimanfaatkan,” kata Mochamad Tarom.
Budiyanto, Kepala Bidang Pengembangan Usaha Seni Dan Budaya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bojonegoro mengatakan, wisata migas di Desa Wonocolo adalah yang pertama di Indonesia. Karena hampir sama dengan kawasan minyak di Texas Amerika Serikat, kawasan Wonocolo kini diberi nama serupa, yakni Teksas Wonocolo. “Bukan Texas tapi Teksas, atau singkatan dari Tekad Selalu, Aman dan Sejahtera,” kata dia.
Kontur tanah berbukit di kawasan tersebut juga disulap menjadi medan off road, serta motor trail dengan nuansa khas aktivitas tambang minyak tradisional. Destinasi off road di kawasan Teksas Wonocolo ini juga sudah dijual ke luar dan mendapatkan sambutan yang luar biasa dari para pecinta olahraga ekstrim.
Menurut Kang Yoto, pembukaan kawasan wisata migas di Wonocolo ini juga bagian dari upaya pemerintah untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada sektor Migas. Jika wisata digalakkan, kelak jika migas telah habis, masyarakat tetap bisa bertahan dan makmur dari sektor non migas.
Apalagi, Bojonegoro saat ini juga diuntungkan dengan hadirnya Double Track Kereta Api yang menjadikan Stasiun Bojonegoro menjadi stasiun utama dan menjadi tempat pemberhentian semua kereta api eksekutif.
“Kita benar-benar ingin menjadikan Bojonegoro pusat wisata baru. Saat ini tiap akhir pekan banyak warga Jakarta yang mulai ke Bojonegoro dengan memanfaatkan jalur kereta api. Mereka datang sabtu pagi, menginap semalam dilanjutkan jalan-jalan dan kembali lagi ke Jakarta menggunakan kereta,” kata Kang Yoto.
Pemerintah Bojonegoro sendiri, kini telah menetapkan beberapa destinasi wisata andalan berbasis masyarakat, kawasan geopark dan geoheritage, serta wisata budaya Desa Adat Samin adalah beberapa contoh yang kini mulai banyak dikunjungi wisatawan. Beberapa objek wisata juga terus diperbaiki.
Jalanan menuju kawasan wisata seperti wisata negeri di atas angin, wisata kahyangan api, hingga jalan menuju wisata Desa Samin juga diperhalus dan diperlebar. Kunjungan wisatawan ke Bojonegoro pada tiga tahun terakhir tercatat terus meningkat hingga 20 persen pertahunnya.
Tak hanya di sektor pariwisata, berbagai intensif pajak juga diterapkan untuk merangsang wirausahawan baru di Bojonegoro. Bagi pelaku UMKM di pedesaan juga tidak lagi diberlakukan pengupahan model Upah Minimum Kabupaten (UMK). “Untuk di desa kita beri kebijakan upah pedesaan jadi semampu mereka. Bagi pelaku UMKM yang bisa menyerap banyak pengangguran juga kita kasih gratis pajaknya,” ujar Kang Yoto.
Dengan berbagai upaya ini, masyarakat Bojonegoro kini bisa mandiri tanpa harus menggantungkan dari terhadap hasil migas yang dikelola pemerintah. Angka kemiskinan saat ini diklaim juga terus menurun. Dari catatan Badan Pusat Statistik, angka kemiskinan di Bojonegoro pada tahun 2012 mencapai 201.900 orang kemudian terus menurun hingga pada tahun 2015 tercatat angka kemiskinan hanya 175.035 orang.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita Bojonegoro juga terus meningkat. Jika pada tahun 2011 PDRB perkapita hanya 10.000.000, namun tahun 2015 telah mencapai 20.000.000. Penelitian Bank Dunia juga menunjukkan ekonomi Bojonegoro tahun lalu tumbuh 13,7 persen, GDP Bojonegoro terus naik, dan Bojonegoro menjadi daerah nomor 10 yang bisa mengurangi kemiskinan tercepat di Indonesia.
Dana Abadi adalah Solusi
Dalam buku “Resonansi Kepemimpinan Transformatif Kang Yoto” disebutkan jika Bojonegoro atau di zaman kerajaan disebut sebagai Rajekwesi ini, selalu digambarkan sebagai daerah paling terbelakang di Jawa Timur. Tanahnya tandus dan hampir tidak ada irigasi sehingga lahan pertanian Bojonegoro berkualitas buruk.
Hanya daerah yang subur di dekat Bengawan Solo, itupun selalu terimbas banjir tahunan sehingga Bojonegoro selalu masuk dalam urutan lima besar daerah termiskin di Jawa Timur.
Konflik sejak era Majapahit, Mataram dan Belanda yang selalu terjadi di Bojonegoro juga menjadikan warga Bojonegoro memiliki tipikal pendendam. “Arya penangsang-pun mati di Bojonegoro, jadi sarat rukun untuk menjadikan Bojonegoro miskin dan penuh konflik itu telah tercukupi,” kata Kang Yoto.
Di awal era modern, kata Kang Yoto, setidaknya ada dua hal yang mencoba menghapus sejarah kemiskinan di Bojonegoro yaitu pembangunan Waduk Pacal di tahun 1923, serta adanya intensifikasi pertanian di era orde baru. Namun dua hal ini, ternyata tak mampu mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat setempat.
Beruntung, Bojonegoro berdiri di atas tanah yang 30 juta tahun lalu merupakan lautan sehingga jutaan fosil baik fosil laut maupun fosil darat lengkap di perut bumi Bojonegoro. “Bojonegoro satu-satunya di dunia yang memiliki fosil laut sekaligus fosil darat,” ujar Kang Yoto.
Keberadaan fosil inilah yang menjadikan cadangan minyak di Bojonegoro mencapai 650 juta barel dan gas mencapai 6 triliun kaki kubik sehingga keberadaan Lapangan Migas Banyu Urip dan Lapangan Sukowati mampu mempertebal pundi-pundi dolar dari dana bagi hasil migas bagi daerah ini.
Sejak awal jadi bupati, Kang Yoto mengaku langsung melakukan pembenahan berbagai regulasi dalam pengelolaan dana bagi hasil migas, sekaligus memberikan iklim investasi yang kondusif bagi investor. Kutukan migas benar-benar ingin dia hilangkan dengan menginisiasi peraturan daerah (Perda) tentang ruang wilayah migas dan pertanian serta Perda terkait pemberdayaan masyarakat lokal di tahun 2011. Pada Perda tersebut, diatur besaran presentase alokasi dana untuk desa tempat wilayah kerja (WK) migas dan untuk desa-desa di sekitarnya.
Perda untuk memperpanjang manfaat dana bagi hasil migas bagi masyarakat juga dia susun dengan pembentukan dana abadi yang berfungsi untuk mengantisipasi apabila dana bagi hasil yang diperoleh Bojonegoro tidak lagi cukup untuk membiayai pembangunan atau potensi migas di Bojonegoro sudah habis.
Menurut Kang Yoto, ada dua sumber dana abadi yang dikelola kemudian disimpan di bank, yakni, 100 persen dari keuntungan saham partisipasi (participating interest atau PI) yang kemungkinan baru bisa diterima Bojonegoro pada tahun 2018 mendatang, serta dari dana bagi hasil yang diperoleh sekitar Rp1,4 triliun pertahun. Dari dana abadi ini, Bojonegoro untuk saat ini pertahunnya bisa memanfaatkan bunga bank sekitar Rp84 miliar (dengan asumsi bunga 6 persen.red).
Bunga dari anggaran dana abadi ini selanjutnya fokus untuk mengurangi kemiskinan, membangun tanggul untuk mengurai banjir, serta memberikan pelatihan pekerjaan bagi warga. Dari dana inipula, saat ini bencana banjir tak lagi mampir ke Bojonegoro karena tanggul-tanggul sungai kini sudah sangat kuat.
Agar keamanan dana terjaga, penggunaan dana abadi ini, 90 persen diinvestasikan di sektor keuangan seperti yang kini telah dilakukan dengan menginvestasikannya ke Bank Jatim, sehingga Bojonegoro kini menjadi pemilik saham terbesar keempat di Bank Jatim.
Tak hanya itu, setoran modal ke Bank UMKM Jatim juga mencapai Rp100 miliar atau menjadi pemilik saham terbesar kedua setelah Pemprov Jawa Timur. Sementara itu, di Bank Perkreditan Rakyat (BPR), modal yang disetor juga telah mencapai Rp400 miliar.
Yudha Alihamsyah pengamat migas mengatakan, Bojonegoro saat ini memang telah berada di jalan yang benar. Apalagi Bojonegoro juga telah memiliki Tim Transparansi Tata Kelola Migas yang dibentuk melalui peraturan daerah.
“Tim transparansi ini beranggotakan dari berbagai stake holder dan memiliki tugas untuk hal-hal yang berkaitan dengan dana bagi hasil migas, CSR perusahaan Migas, Participating Interest (PI) migas hingga dampak lingkungan hidup,” kata Yudha.
Dengan tim inipula, diharapkan pemerintah pusat tidak seenaknya saja dalam menentukan dana bagi hasil migas yang harus diterima Bojonegoro.
Menurut Yudha, apa yang dilakukan Bojonegoro sebenarnya bisa ditiru oleh pemerintah Jawa Timur. Apalagi di Jawa Timur saat ini memiliki 42 cekungan (blok) yang miliki potensi sumber migas sejak abad 18 silam.
Yang pasti, berbagai upaya cerdas mengelola dana bagi hasil migas ini, diharapkan mampu menghindarkan Bojonegoro maupun Jawa Timur dari kutukan eksploitasi sumberdaya ekstraktif yang selama ini selalu menjangkiti daerah-daerah penghasil migas. (fik)