Rabu, 24 April 2024

Koalisi NGO Mengkritisi Rencana Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur oleh KKP

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi aktivitas nelayan di wilayah pesisir

Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) menilai unsur ‘kontraktual’ dalam rencana kebijakan penangkapan ikan terukur oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), justru akan menjadi paradoks dalam tujuan pelestarian ikan di perairan Indonesia.

“Kami menolak rencana penerapan sistem kontrak itu, karena dianggap mengarah pada eksploitasi sumber daya laut yang akan semakin mengikis jumlah ikan di perairan, juga megancam kehidupan Nelayan tradisional,” kata Parid Ridwanudin salah satu inisiator KORAL sekaligus Manager Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI saat dikonfirmasi suarasurabaya.net, Minggu (15/5/2022).

KORAL melihat sistem kontrak dalam rancangan kebijakan KKP tentang perikanan terukur berbasis kuota, diartikan sebagai kerjasama pemanfaatan sumber daya ikan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP dengan Badan Usaha di Zona tertentu dalam waktu yang tertentu juga.

“Ironisnya, dengan rencana penerapan system kontrak tersebut WPP NRI boleh dikontrakkan juga kepada korporasi asing atau dengan melakukan kemitraan dengan perusahaan nasional. Badan usaha swasta nasional dengan penanaman modal sing PMA,” jelas Parid

Dengan kebijakan tersebut, kata dia, bukan tidak mungkin nantinya kapal-kapal asing yang diberi ijin atau lisensi termasuk diimigrasikan menjadi kapal ikan berbendera Indonesia, bebas berkeliaran dan mengeruk kekayaan laut dalam negeri.

“Penangkapan ikan terukur dengan basis kuota justru memberikan karpet merah untuk industri skala besar. Kalo kita baca di dalam draft dokumen pemerintah, KKP memberikan kuota kepada lima hingga enam korporasi di satu WP (Wilayah Penangkapan) selama jangka waktu tertentu,” terangnya.

Adanya sistem kontrak itu, menurut KORAL, bisa membuat pelaku usaha berpeluang mengeksploitasi sumber daya alam di perairan Indonesia.

Sementara menurut KKP dalam Permen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No 57 tahun 2020, menyatakan bahwa potensi lestari sumber daya ikan laut Indonesia diperkirakan mencapai 12,54 juta ton per tahun.

Dari seluruh potensi sumber daya ikan tersebut, sebanyak 10,3 juta ton boleh dimanfaatkan dan baru dimanfaatkan sebesar 6,98 ton pada 2019. Artinya pemnafaatan baru terjadi sebesar 69,59 persen.

Parid menyebut, bahwa Ali Suman Kepala Balai Penelitian Perikanan laut Balitbang KP KKP pada 2015 lalu  pernah memperingatkan, adanya beberapa titik kawasan yang sudah tidak boleh diambil lagi ikannya karena sudah dikategorikan sebagai kawasan merah.

“Dari tujuh zona yang direncanakan sebagai perikanan industri, tiga diantaranya berada dalam level zona merah atau over exploited,” imbuh Parid.

Zona-zona merah, menurut Parid tidak boleh di lakukan penangkapan ikan dalam waktu tertentu untuk memberikan waktu bagi ikan untuk berkembang biak.

“Kalau terus diambil apalagi diperuntukkan bagi zona industri yang membuka peluang eksploitasi, artinya kita tidak memberi ruang bagi ikan untuk berkembang biak. Bukan hanya tergerus, populasi ikan bahkan bisa lenyap dari wilayah perairan itu,” terangnya.

Parid melanjutkan, kebijakan penangkapan ikan terukur yang menyetarakan nelayan kecil dengan korporasi atau Badan Usaha (yang menandatangani kontrak), akan membuat perekonomian nelayan tradisional semakin terpuruk dengan sulitnya mendapat ikan di laut.

Melihat semakin terbatasnya jumlah sumberdaya ikan di beberapa perairan berzona merah, aktivis lingkungan mendukung konsep sistem penangkapan ikan terukur berbasis kuota, tapi bukan pada poin kontraktualnya.

Dengan sistem kontrak dan pembatasan yang belum jelas, lanjut Parid, korporasi besar maupun asing justru berpeluang untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam dan biota laut yang ada di perairan Indonesia. Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan pelestarian ikan di laut dalam negeri.

“Tidak diutamakannya nelayan kecil dalam perhitungan kuota, akan menyebabkan kompetisi yang tidak adil dan ketidakmerataan kesejahteraan manfaat dari hasil laut dan ini bertentangan dengan prinsip prosper equitably,”

Atas berbagai pertimbangan tersebut, KORAL menegaskan kembali pada pemerintah untuk tidak terburu-buru menerbitkan sebuah aturan yang sebenarnya masih membutuhkan kajian, persiapan dan kesiapan tersebut.

Kebijakan itu dinilai sarat masalah dan rawan menimbulkan konflik sosial ekonomi, serta memicu penjarahan sumber daya ikan karena integritas dan kapasitas pengawasan yang lemah. Perlu pra-kondisi yang mendalam dan penyiapan infrastruktur serta uji coba sistematis, untuk belajar sebelum suatu kebijakan ditetapkan secara permanen.

“Prinsip kehati-hatian perlu di prioritaskan,” pungkas Parid. (tha/bil)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Rabu, 24 April 2024
29o
Kurs