Senin, 2 Desember 2024

DPR, Buruh dan Pemerintah akan Mengkaji dan Membahas Lagi Indeks Upah Buruh

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Sufmi Dasco Ahmad Wakil Ketua DPR RI ditemui awak media di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11/2024). Foto: Faiz Fadjarudin suarasurabaya.net

Sufmi Dasco Ahmad Wakil Ketua DPR RI menegaskan kalau DPR akan mengkaji lagi indeks upah buruh. Pembahasan akan melibatkan pemerintah dan buruh setelah ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Cipta Kerja, khususnya menyangkut PP no 51 tahun 2023 soal pengupahan.

Hal ini disampaikan Dasco setelah mengadakan pertemuan dengan Said Iqbal Ketua umum Partai Buruh, Supratman Andi Agtas Menteri Hukum, dan Yassierlie Menteri Tenaga Kerja di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11/2024).

“Jadi kami tadi sudah mengadakan pertemuan ini Pak Said Iqbal sebagai yang mewakili salah satu elemen buruh, tadi sudah menyampaikan beberapa hal. Dan tadi juga sudah bertemu dengan Menteri Tenaga Kerja yang intinya bahwa sesuai dengan keputusan MK bahwa kami dari DPR menyatakan bahwa memang PP 51 tahun 2023 soal pengupahan itu sudah tidak berlaku,” ujar Dasco.

“Dan kemudian menyikapi keputusan MK mengenai upah dan lain-lain, tadi sudah disepakati bahwa buruh, pemerintah dan DPR akan mengkaji dan membahas dengan seksama bagaimana indeks upah buruh supaya tidak ada yang dirugikan baik dari pengusaha maupun buruh,” imbuhnya.

Karena PP nomor 51 tidak berlaku, kata dia, sistem pengupahan akan dibicarakan bersama-sama.

“Iya kita optimis bahwa ini akan dapat terealisasi dalam waktu yang tidak lama, tetapi memang perlu waktu untuk membicarakan karena ini bukan hal yang mudah dan juga tidak harus terburu-buru,” jelasnya.

Sekadar diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan sebagian besar permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Putusan tersebut atas perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan dua orang perseorangan, yaitu Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh.

MK juga meminta pembentuk Undang-Undang (UU), dalam hal ini pemerintah, segera membentuk UU ketenagakerjaan yang baru. Dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Demikian mengutip situs resmi MK, Jumat (1/11/2024).

Dalam keputusan itu, salah satu dalil yang ditetapkan menyangkut penetapan upah pekerja, yaitu atas pasal 88 UU Cipta Kerja.

MK menyatakan, Pasal 88 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan “Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua”.

Dan, menyatakan Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan, “Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, “dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan.

Menyatakan frasa “dalam keadaan tertentu” dalam Pasal 88F dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU Ciptaker bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” mencakup antara lain bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Menyatakan Pasal 90A dalam Pasal 81 angka 31 Lampiran UU Ciptaker yang menyatakan “Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh di Perusahaan”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan”. (faz/iss)

Berita Terkait

Kurs
Exit mobile version