Selasa, 14 Mei 2024

Pakar Unair Minta OJK Sesuaikan Data Debitur Penerima Restrukturisasi Kredit dan BI Checking

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Logo OJK.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit atau keringanan pembayaran cicilan pinjaman di bank atau Leasing, sampai 31 Maret 2024.

Wisnu Wibowo Wakil Dekan 1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (Unair) menilai restrukturisasi merupakan kebijakan yang tepat untuk jaga stabilitas industri perbankan. Kebijakan ini juga salah satu resep pemerintah untuk mengatasi kontraksi ekonomi yang sangat dalam sebagai dampak pandemi Covid-19.

“Saat itu, perlu kita waspadai dampak corona terhadap industri perbankan, dan menimbang bagaimana nanti implikasinya terhadap fasilitias sistem keuangan di mana sistem keuangan ini sangat penting untuk kita mewujudkan, dan juga untuk menjamin kesinambungan perekonomian,” kata Wisnu dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya pada Selasa (1/2/2023).

Wisnu menjelaskan, pemerintah melalui OJK telah memberikan guidance tentang implementasi restrukturisasi kredit oleh masing-masing bank. Niat awalnya untuk membantu pelaku ekonomi agar nantinya tidak menyebabkan dampak yang kontraproduktif dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

“Jadi istilahnya gak bendol mburi, seolah-olah diawal diberikan kemudahan tapi itu sebenarnya merupakan ‘jebakan’ yang bisa merugikan masyarakat pelaku ekonomi yang menjadi sasaran dari insentif ini,” terangnya.

Menurutnya, masyarakat juga harus proporsional melihat kebijakan ini karena tidak tertutup kemungkinan akan ada bias-bias dalam implementasinya.

“Dampak negatif kebijakan ini juga berpengaruh terhadap perbankan. Yang pertama, dari kebijakan ini perbankan harus rela menerima keuntungan yang lebih sedikit. Lalu yang kedua, perbankan bisa terganggu likuiditasnya,” ujar Wisnu.

Hal lain yang sangat krusial adalah ketika kebijakan ini justru menjadi ‘jebakan’ bagi masyarakat. Diketahui sebelumnya, OJK menerima kurang lebih 11 ribu aduan masyarakat terkait program restrukturisasi ini.

Ribuan aduan tersebut salah satunya berupa masuknya nama debitur di sistem BI Checking. Menurut Wisnu, memang ada kewajiban pelaporan bank yang melakukan restrukturisasi kredit untuk menyampaikan laporan stimulus kredit, atau pembiayaan restrukturisasi menyangkut siapa identitas yang nanti dilaporkan kepada otoritas.

Kata Wisnu, OJK sebagai pengawas lembaga keuangan harus segera mengklarifikasi laporan tersebut. Sebab, setiap potensi penyimpangan praktik yang dilakukan oknum di lembaga keuangan atau perbankan itu taruhannya adalah kepercayaan publik, kepada industri jasa keuangan perbankan khususnya bank dan terhadap kredibiltas kebijakan pemerintah.

Menurutnya, BI Checking mestinya merupakan filter untuk menjaga kualitas dari calon debitur berdasarkan track record yang lebih bersumber kepada kelalaian, disengaja, atau praktek-praktek moral hazard dari sisi nasabah atau calon nasabah, bukan dari implikasi kebijakan pemerintah yang dilakukan secara masif dalam konteks situasi darurat.

“Sistem BI Checking dibangun ketika kondisi normal sebelum Covid-19, bahwa kreditur yang terlambat bayar bisa masuk catatan. Tapi ketika kondisi Covid-19 pasca kebijakan, kalau tidak membayar 3 bulan kan karena memang kesepakatan peraturan dan dilindungi kebijakan. Jangan-jangan sistem ini belum disesuaikan,” tutur dosen ekonomi tersebut.

Di sisi lain, Wisnu mengatakan kebijakan ini mempunyai dasar pijakan yang baik. Yang pertama, adalah peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020. Dan diperkuat dengan PERPU Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19.(ihz/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Kurs
Exit mobile version