Kamis, 12 Desember 2024

Polling Suara Surabaya: Pekerja Indonesia Jarang Merantau karena Tempat Asal Sudah Cukup Nyaman

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Hasil Wawasan Polling Suara Surabaya Media mengenai mengapa pekerja Indonesia jarang merantau? Apakah karena mereka takut, atau mungkin tempat asal sudah cukup nyaman? Ilustrasi: Bram suarasurabaya.net

Menurut laporan Goodstat, jumlah angkatan kerja Indonesia naik 12,4 juta pada 2023, dengan penduduk bekerja mencapai 142,179,000 orang dan jumlah pengangguran 7,195,000 orang pada Februari 2024.

Sebagai pusat manufaktur di Asia Tenggara, Indonesia merasakan dampak positif dari investasi asing dan relokasi produksi global, yang menciptakan banyak lapangan kerja baru.

Namun, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan hanya 2,3% pekerja Indonesia yang merantau atau dikenal sebagai pekerja sirkuler, yang bekerja di luar wilayah tempat tinggalnya secara periodik.

Jakarta mencatat pekerja sirkuler tertinggi (87,2%), diikuti oleh Sumatra Utara (63,1%) dan Sumatra Selatan (62,5%). Di sektor formal, Jakarta memimpin dengan 90,4% pekerja perantauan. Mayoritas pekerja sirkuler di sektor pertanian berada di Sumatra Utara (24%), Lampung (18,3%), dan Sumatra Selatan (3,9%).

Selain itu, 5,3% pekerja Indonesia adalah komuter, yakni mereka yang bekerja di luar wilayahnya tetapi pulang di hari yang sama. Jakarta mencatat komuter tertinggi di sektor formal (93,3%), sedangkan di sektor manufaktur, Jawa Tengah memimpin (43,6%).

Mayoritas pekerja Indonesia (lebih dari 90%) adalah pekerja stayer, yang bekerja di wilayah yang sama dengan tempat tinggalnya. Hal ini menunjukkan bahwa pekerja perantau masih jarang di Indonesia.

Lantas, mengapa pekerja Indonesia jarang merantau? Apakah karena mereka takut, atau mungkin tempat asal sudah cukup nyaman?

Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya pada Kamis (5/9/2024) pagi, mayoritas peserta polling menilai hal ini dikarenakan tempat asal yang sudah cukup nyaman.

Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, 66 persen pendengar yang berpartisipasi mengamini bahwa pekerja Indonesia jarang merantau lantaran tempat asaln sudah cukup nyaman. Sedangkan 34 persen lainnya mengaku takut merantau.

Kemudian dari data Instagram @suarasurabayamedia, 74 persen voters menyatakan pekerja Indonesia jarang merantau karena tempat asal sudah cukup nyaman. Sedangkan 26 persen lainnya menyebut takut merantau.

Menyikapi hal tersebut, Prof. Dr. Ida Bagus Wirawan sosiolog dari Universitas Airlangga (Unair) mengungkapkan bahwa ada sejumlah tren demografi yang berpengaruh ke berbagai aspek kehidupan. Termasuk migrasi.

Tren pertama adalah jumlah penduduk Indonesia akan terus bertambah antara 2015 hingga 2030, dipengaruhi oleh berbagai faktor demografi.

Kedua adalah pola migrasi pekerja telah berubah, dari migrasi permanen menjadi mobilitas non-permanen, ke semua destinasi atau tujuan migrasi.

Perubahan ini juga disertai dengan perubahan komposisi umur penduduk, bonus demografi, serta faktor sosio-ekonomi dan budaya.

“Dampaknya adalah mengubah pola pembangunan, konsumsi, dan produksi yang berkelanjutan turut memengaruhi geopolitik. Dampak demografi ini berbeda di setiap daerah, sehingga kebijakan kependudukan harus spesifik dan bersifat kontekstual. Lalu memperhatikan daya dukung sumber daya alam melalui peningkatan sumber daya manusia yang berkelanjutan,” jabar Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair ini saat mengudara di Radio Suara Surabaya, Kamis pagi

Wirawan menambahkan, pola migrasi akan berubah menjadi migrasi tidak permanen, atau migrasi sirkuler, di mana mereka seseorang itu tidak tinggal menetap.

Selain itu ada komuter yang pulang-pergi setiap hari. Jumlah ini meningkat berkat ketersediaan sarana transportasi yang mendukung aktivitas commuting. “Jadi semuanya gayung bersambut, saya kira,” sebutnya.

Menurut analisis Prof. Wirawan, ada beberapa alasan mengapa hanya 2,3 persen penduduk Indonesia yang memilih untuk merantau.

Pertama, infrastruktur dan moda transportasi yang semakin baik membuat mobilitas lebih mudah tanpa perlu menetap di kota besar.

Kedua, harga tanah atau properti yang sangat tinggi memaksa masyarakat berpikir ulang untuk menetap di kota besar. Hal ini membuat lebih memilih tinggal di kota asal.

“Contoh konkret, banyak pekerja yang tinggal di Sidoarjo, tetapi bekerja di Surabaya. Mereka berangkat pagi dan pulang pada malam hari. Ini menjadi pilihan. Dari sisi biaya, ini lebih rendah dibandingkan membeli rumah di Surabaya,” terangnya. (saf/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Pohon Tumbang di Jalan Khairil Anwar

Mobil Tabrak Dumptruk di Tol Kejapanan-Sidoarjo pada Senin Pagi

Truk Tabrak Rumah di Palemwatu Menganti Gresik

Kurs
Exit mobile version