Minggu, 5 Mei 2024

Indostrategic : Bubarnya Koalisi Perubahan Menunjukkan Koalisi Paling Rapuh dalam Kalkulasi Pragmatisme Politik Praktis

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Ahmad Khoirul Umam Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (INDOSTRATEGIC). Foto : Faiz Fadjarudin suarasurabaya.net

Ahmad Khoirul Umam Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (INDOSTRATEGIC) menilai, pasca penetapan kemenangan Prabowo-Gibran, Koalisi Perubahan yang tampak garang selama kampanye 2024 lalu, ternyata menjadi koalisi yang paling rapuh dalam kalkulasi pragmatisme politik praktis.

Kata Umam, mendekatnya Nasdem dan PKB ke Prabowo selaku pemenang Pemilu, menjadi indikator yang nyata dan begitu vulgar dari koalisi perubahan yang terbukti sangat mudah berubah.

“Bubarnya Koalisi Perubahan ini mengindikasikan bahwa narasi kritis dan “jurus slepet” yang dulu digunakan partai-partai politik selama kampanye kemarin bukan didasarkan pada hasil kontemplasi mendalam atas kondisi demokrasi bangsa, melainkan hanya gimmick dan komoditas politik semata untuk meraup suara masyarakat yang berseberangan dengan pemerintah,” ujar Umam dalam keterangannya, Kamis (25/4/2024).

Akibatnya, kata dia, narasi kritis perubahan itu begitu mudah dihapus dengan argumen rekonsiliasi dan persatuan, yang seolah dimanfaatkan untuk menutupi kompromi kepentingan pragmatis dan oportunisme dalam politik praktis.

Hasilnya, saat ini Anies Baswedan Capres yang menjadi simbol narasi kritis seolah ditinggalkan begitu saja oleh partai-partai yang di Pileg kemarin diuntungkan oleh narasi kritis dan mendapatkan coat-tail effects dari ketokohan Anies Baswedan.

Umam menjelaskan, perubahan peta politik pasca penetapan pemenang Pilpres oleh KPU kemarin memberikan legitimasi politik dan konstitusional kepada Prabowo-Gibran untuk menyiapkan pemerintahan barunya.

“Ketiadaan coat-tail effect dan masih terbatasnya akumulasi kekuatan politik Koalisi 02 di parlemen (48%) meniscayakan dibukanya politik akomodasi secara lebar-lebar. Untuk menghadirkan lingkungan politik dan pemerintahan baru yang stabil dalam transisi kekuasaan, maka dibutuhkan setidaknya 60% kekuatan parlemen,” kata Umam yang juga Dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Parmadina Jakarta ini.

Dalam konteks ini, lanjutnya, pendekatan Prabowo dengan Nasdem dan PKB, setidaknya akan menggenapkan kekuatan politik pemerintahan Prabowo-Gibran menjadi sekitar 70%.

Bahkan jika gugatan PHPU PPP dikabulkan MK, maka akumulasi koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran bisa semakin “gemoy”, yakni sekitar 74%.

“Jumlah itu sudah lebih dari cukup untuk sebuah pemerintahan dengan sistem presidensial yang berada di tengah sistem multipartai,” terangnya.

Selanjutnya, kata Umam, pemerintahan Prabowo-Gibran hendaknya tetap membuka ruang bagi hadirnya kekuatan oposisi yang memadai, untuk menjaga checking and balancing system dalam mekanisme demokrasi dan tata kelola pemerintahan.

Per hari ini, menurut dia, setidaknya ada dua partai yang belum terbuka pintu komunikasi untuk bergabung ke pemerintahan, yakni PKS dan PDIP.

“Jika PKS dan PDIP menjadi kekuatan oposisi, maka hal itu akan menguntungkan pemerintahan Prabowo-Gibran. Karena PDIP dan PKS ibarat air dan minyak, basis ideologinya sangat berbeda bahkan bertolak belakang,” jelasnya.

Umam mengatakan, kedua partai itu memang berpeluang bisa memainkan peran kritis dalam konteks kebijakan publik, namun akan kesulitan untuk membangun gerakan politik oposisional yang solid dan memadai karena ada akar faksinalisme akut akibat perbedaan ideologi.

Meskipun PKB menjadi musuh utama dalam Pilpres dengan jurus slepet Cak Imin kepada pasangan Prabowo-Gibran, namun, kata Umam, upaya menarik PKB ke dalam pemerintahan baru Prabowo-Gibran tetap penting untuk dilakukan.

PKB memiliki kekuatan suara di parlemen yang bisa menambal kekurangan dukungan politik Prabowo-Gibran di parlemen. Sehingga pemerintahan baru bisa lebih stabil.

Meskipun memiliki hubungan tidak harmonis dengan PBNU, namun PKB merupakan satu-satunya partai politik yang diyakini menjadi representasi dari kekuatan politik kaum Nahdliyyin, yang merupakan kekuatan Islam moderat terbesar di Indonesia.

Saat ini, menurut Umam, di koalisi Prabowo-Gibran baru ada PAN selaku partai berbasis Ormas Islam Muhammadiyah. Maka masuknya PKB akan mengokohkan dukungan politik Islam moderat terhadap pemerintahan baru Prabowo-Gibran.

Jika Prabowo-Gibran membuka pintu bagi masuknya PKB dan menahan PKS untuk berada di luar, langkah itu akan mencitrakan komitmen ideologis pro-Islam moderat dari pemerintahan baru Prabowo-Gibran.

“Kedekatan Prabowo-Gibran dengan PKB akan mendekatkan pemerintahan baru dengan basis massa Nahdliyyin, dimana basis pemilih loyal PKB terbukti mengalami split ticket voting di Pemilu 2024 lalu,” kata dia.

Basis pemilih loyal PKB memang tetap memberikan dukungannya di Pileg pada PKB, namun untuk Pilpres lebih banyak mereka mendukung Prabowo-Gibran.

Karena itu, lanjut Umam, memasukkan PKB ke pemerintahan baru Prabowo-Gibran setidaknya akan mensolidkan kedekatan pemerintahan baru dengan basis Nahdliyyin yang praktis masih menjadi komunitas Muslim terbesar di masyarakat politik Indonesia saat ini. (faz/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Kurs
Exit mobile version