Senin, 29 Desember 2025

Cegah Pendangkalan Ranu Pane di Lereng Semeru

Laporan oleh Sentral FM Lumajang
Bagikan

Pendangkalan Ranu Pane yang merupakan danau eksotik di lereng Gunung Semeru telah terancam keberadaannya. Data ini sesuai dengan hasil penelitian aktivis JICA (Japan International Cooperation Agency), jika dulunya Ranu Pane memiliki luas sekitar 7 hektar sekarang hanya tersisa 4 hektar sampai 5 hektar saja.

Jika dulu kurang lebih 10-20 meter, saat ini dari hasil pengukuran terakhir 2012 lalu yang dilakukan dengan sampel di 9 titik Ranu Pane, rata-rata hanya 6,5 meter saja. Dengan luas dan kedalaman Ranu Pane hanya tersisa 60 persen saja.

Kondisi ini yang kemudian menggugah jajaran Dinas Kehutanan (Dishut) Kabupaten Lumajang untuk melakukan upaya guna pencegahannya. “Saat ini kami tengah melakukan koordinasi dengan Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) guna melakukan upaya agar Ranu Pane tidak sampai hanya tinggal kenangan saja,” kata Ir Imam Surjadi Kepala Dishut Kabupaten Lumajang kepada Sentral FM, Senin (16/2/2015).

Dikatakannya, Dishut akan melakukan upaya cepat guna mencegah penangkalan Ranu Pane agar danau yang menjadi ikon di Gunung Semeru ini tidak terlanjut hilang. Sebagai upaya awal, Kepala Dishut bersama DR Ir Ayu Dewi Utari, Msi Kepala Balai Besar TNBTS dengan melakukan peninjauan ke Ranu Pane.

“Upaya ini kami lakukan dalam rangka untuk melihat perkembangan yang ada di Ranu Pane itu sendiri. Apa yang mungkin bisa kita lakukan, penanganan-penanganan apa yang sudah dilakukan sebelumnya. Untuk itu kita melakukan koordinasi dengan Kepala Balai Besar TNBTS dan meninjau ke Ranu Pane. Selanjutnya dilakukan pembahasan-pembahasan, bagaimana ke depan supaya jangan sampai Ranu Pani lestari,” bebernya.

Ancaman pendangkalan ini, sebelumnya disampaikan oleh Andi iskandar seorang peneliti JICA terjadi karena abrasi dan pendangkalan sedimentasi Ranu Pane yang akan semakin parah jika tidak segera dihentikan. Pemicunya, adanya adanya tanaman empasit yang bernama salvinia molusca yang terus berkembang di Ranu Pane.

“Tanaman ini bukanlah jenis tanaman endemik Ranu Pane. Namun, tanaman yang sebenarnya endemik dari Amerika Selatan ini, sengaja ada yang membawa ke sana. Karena perkembangannya sangat cepat, dalam waktu cepat tanama ini pun menjadi penyebab pendangkalan sedimentasi Ranu Pane,” kata pria yang akrab di sapa Andi Gondrong ini.

Untuk persoalan ini, berbagai pihak, termasuk masyarakat Ranu Pane telah melakukan berbagai kegiatan pembersihan secara rutin. “Sejak 2012 pembersihan terus dilakukan. Bahkan, ketika hampir 80 persen permukaan Ranu Pane tertutup tanaman salvinia molusca, pembersihan gencar dilakukan. Sampai-sampai pembersihan sempat digelar 48 hari berturut-turut,” paparnya.

Masalah yang kedua, masih kata Andi Gondrong ini, adalah masalah pokok berupa pola tanam pertanian yang dikembangkan warga Desa Ranu Pane sendiri. Sistem pertanian yang ada di Ranu Pane, dulunya masyarakat menggunakan pola teras siring. Kalau di Bali seperti Subak. Dengan pola tanam ini, dapat menghambat laju lumpur yang masuk ke danau.

“Tapi karena pertumbuhan jumlah pendudduk, mereka butuh perluasan lahan yang bertambah, pola teras siring pun dirubah menjadi vertikal. Petani hortikultura langsung memotong kontur jadi tanpa teras siring. Jadi aliran air yang membawa lumpur ketika hujan, langsung dari atas ke bawah hingga masuk ke Ranu Pane. Lumpur-lumpur yang terdiri dari humus atau lapisan paling atas tanah dari lahan di bukit dengan kemiringan 45 derajat inilah, yang menjadi sedimen pendangkalan Ranu Pane,” ungkap dia.

Parahnya lagi, Ranu Pane tidak memiliki outlet untuk mengalirkan luapan air bercampur lumpur agar tidak langsung masuk ke danau. “Jadi, lumpur-lumpur itu, semuanya menumpuk di Ranu Pane dan menjadi pemicu pendangkalan. Apalagi, Ranu Pane bentuknya lembah, seperti mangkok. Sehingga seluruh lahan pertanian di Ranu Pane masuknya ke danau itu dan memicu terjadinya pendangkalan,” urainya.

Kondisi inilah yang menjadi fokus perhatian peneliti JICA untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat Ranu Pane untuk segera merubah pola tanam yang selama ini diterapkan.

“Istilah Jawa-nya, ojo nandur koyok ngene, dalam artian jangan menanam dengan pola seperti ini. Bukan tidak mungkin jika pola tanam seperti ini terus diterapkan, dalam 10 tahun atau 20 tahun lagi Ranu Pane habis, hilang. Sehingga Desa Ranu Pane namanya bukan Ranu Pane, tapi Pane saja karena Ranu-nya sudah hilang. Ini yang memang berat, tapi kami konsern untuk memberikan advise kepada masyarakat,” pungkas dia. (her/dwi)

Teks Foto :
– Ranu Pane yang semakin dangkal.
Foto : Sentral FM.

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Perpaduan Macet dan Banjir di Kawasan Banyuurip-Simo

Banjir Menggenangi Sidosermo 4

Kecelakaan Bus Vs Truk Gandeng di Jembatan Suramadu

Perpaduan Hujan dan Macet di Jalan Ahmad Yani

Surabaya
Senin, 29 Desember 2025
32o
Kurs