Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, ternyata berdampak positif terhadap penghasilan para nelayan lobster di pantai selatan Kabupaten Lumajang. Pasalnya, nelayan mendapatkan nilai jual yang tinggi karena komoditi lobster hasil tangkapannya kebanyakan dikirimkan untuk pasar ekspor ke berbagai negara.
Ir Syaiful Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lumajang kepada Sentral FM, Jumat (4/9/2015), mengatakan lobster merupakan komoditi ekspor hasil laut di Lumajang. Diantaranya banyak ditangkap nelayan-nelayan di sepanjang pesisir selatan Lumajang mulai dari wilayah Kecamatan Tempursari sampai Yosowilangun.
“Pertahunnya, hasil tangkap lobster dari nelayan minimal mencapai 10 ton. Namun jumlah hasil tangkap lobster naik turun dengan bulan puncak musim tangkap mulai Mei sampai Desember. Komoditi ini diekspor ke berbagai Negara, diantaranya China, Singapura, Taiwan, Hongkong, Negara-negara di Eropa dan Amerika,” katanya.
Saat ini, menurutnya, dengan naiknya nilai tukar dolar, maka harga komoditi lobster juga mengalami peningkatan.” Sebab, Lobster untuk komoditi ekspor itu, pembayarannya juga menggunakan dollar,” paparnya.
Penjualan komoditi lobster ini, juga menyesuaikan grade atau ukurannya.” Sehingga tergantung besar kecilnya ukuran lobster yang akan dikirimkan. Umumnya ukurannya agar besar, dengan berat minimal perekornya diatas 2 ons,” paparnya.
Untuk penjualan komoditi, nelayan lobster bermitra dengan eksportir dari Surabaya, Sidoarjo dan Jember. Saat ini, harga komoditi lobster yang dijual nelayan Lumajang, perkilogramnya berkisar antara Rp500 ribu sampai Rp700 ribu.
“Dengan adanya dolar naik, harganya meningkat dan itu menyenangkan teman-teman nelayan kami. Apalagi dengan kenaikan harga daging di berbagai kota besar seperti DKI Jakarta saat ini, konsumen larinya ke ikan,” ungkapnya.
Untuk menjaga keberlangsungan komoditi lobster ini, Ir Syaiful menjelaskan, jika nelayan tidak bisa seenaknya melakukan penangkapan. Sebab, penangkapan lobster telah diatur melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Dimana, nelayan dilarang menangkap lobster di bawah ukuran 2 ons.
“Aturan ini juga diberlakukan ketat, bahkan dalam pengiriman juga diperiksa polisi jika melanggar akan dikenakan sanksi pidana. Dengan adanya larangan menangkap lobster berukuran kecil dibawah tidak boleh, sehingga hasil laut ini berkesempatan untuk perbesaran. Sehingga musim tangkap akan berlangsung terus,” urainya.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lumajang juga menjelaskan, bahwa komoditi ikan yang diekspor tidak hanya lobster saja. Masih ada komoditi lainnya seperti udang vaname dan layur.
“Untuk udang vaname yang dibudidayakan para petambak di Kabupaten Lumajang, pertahunnya bisa menghasilkan 160 ton. Dan harga jual udang vaname juga naik karena terimbas kenaikan nilai tukar dollar,” bebernya.
Nilai jual komoditi udang vaname, lanjutnya, disesuaikan dengan umur panen. Untuk usia panen 3 bulan, perkilogramnya mencapai Rp80 ribu sampai Rp90 ribu. Sedangkan untuk udang vaname yang kecil dengan usia dipanen 2 bulan, harganya berkisar Rp60 ribu.
“Sementara untuk komoditi ikan layur, jumlah hasil tangkap pertain yang diekspor mencapai 15 ton. Diantaraya layur kuning, layur putih dan layur hitam. Dan komoditi ikan layur yang paling mahal adalah layur kuning. Sedangan layur mencapai 15 ton pertahunnya. Layur kuning, hitam dan putih. Untuk Negara tujuan ekspornya, diantaranya dikirimkan ke Jepang, Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat,” demikian pungkas Ir Syaiful. (her/dwi)
Teks Foto :
– Ir Syaiful
Foto : Sentral FM
NOW ON AIR SSFM 100
