
Yuan Yovita Setiawan Dosen Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya) mengingatkan tentang bahaya dari permainan Roleplay (RP). Salah satunya bisa membuat anak-anak kecanduan.
RP sedang menjadi pembicaraan hangat di media sosial setelah seorang ayah memarahi puterinya yang masih berusia sebelas tahun usai ketahuan bermain RP di aplikasi TikTok.
Kemarahan sang ayah didasari karena puterinya memainkan RP dengan sejumlah pengguna TikTok yang bahkan tidak dikenalnya. Konten RP yang dimainkan juga berbau dewasa. Hingga bocah tersebut diceritakan memiliki anak yang perannya dimainkan pengguna TikTok lain.
“Sebenarnya Roleplay ini pada awalnya hanya untuk hiburan. Akhirnya bergeser penikmatnya menjadi anak-anak. Ini karena terpaan media yang tidak terbendung serta pengawasan dari lingkungan yang kurang,” kata Yuan Yovita dalam program Wawasan di Suara Surabaya pada Senin (26/6/2023) pagi.
Menurut Yuan Yovita, RP sebenarnya dibuat untuk bermain karena sifatnya berbeda dengan dunia nyata. Jadi, pengguna RP bisa memerankan karakter lain sesuai dengan keinginannya. Para penggunanya juga bisa saling berinteraksi dengan identitas yang dirahasiakan.
Akan tetapi, permainan ini justru memiliki dampak negatif. Terutama ketika tren bermain RP justru digemari oleh anak-anak.
Menurut Yuan Yovita, tidak semua orang yang bergabung di RP hanya sekadar cari hiburan. Ada sejumlah orang yang memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan kejahatan siber.
“Kalau anak-anak dan remaja belum tahu cara membatasi diri, identitas atau data pribadi mereka bisa diminta dan kemudian disebarluarkan. Ini yang harus diperhatikan para orang tua,” ucanya.
Selain itu, Yuan Yovita juga mengamati potensi terjadinya pemerasan bahkan perundungan terhadap anak-anak yang memainkan RP.
“Misal jika mereka masuk komunitas tertentu. Bisa jadi mereka diminta membership. Harus membayar sejumlah uang, itu potensi pemerasan. Selain itu juga ada potensi bullying kalau identitas tidak sesuai,” jelasnya.
Co-founder Awalmula Surabaya ini menambahkan, menurut ilmu psikologi, anak atau seseorang bisa memainkan permainan seperti ini jika identitasnya sendiri sudah terbentuk. Ketika mereka sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sudah berkuliah.
Anak atau remaja yang sudah memiliki jati diri, ketika mencoba permainan ini tidak lagi menyeramkan. Sebab mereka sudah bisa membedakan mana diri mereka yang asli dan mana yang fantasi.
Sebaliknya, bagi anak yang masih kecil dan belum menemukan jati diri, permainan RP justru bisa memberi dampak buruk.
“Permainan RP membuat anak-anak memiliki dunianya sendiri. Menjadi apa yang tidak bisa mereka lakukan di dunia nyata. Kesenangan ini kalau tidak bisa dikendalikan, jadinya candu. Ini yang menjadi bahaya,” jabarnya.
“Kalau sudah kecanduan, kehidupan di anak terganggu. Fungsi sosial dan akademis terganggu. Mereka akan membandingkan diri dengan lingkungan atau temannya lain. Ada rasa rendah diri, dan itu bisa menggganggu psikologis lebih parah,” imbuh Yuan Yovita.
Oleh sebab itu, perlu peran orang tua agar anak-anak tidak terjerumus ke hal-hal negatif dari permainan RP. Orang tua harus mengecek secara berkala ponsel milik anak. Tapi caranya harus friendly, sehingga anak bisa terbuka untuk menceritakan.
“Kalau orang tua datang dengan marah, itu jadi bumerang. Sehingga anak lebih tertutup. Jadi checking-nya harus lebih lembut,” harap Yuan Yovita.
Orang tua bisa menerapkan kebijakan khusus penggunaan ponsel anak. Aktivitas yang dianggap mencurigakan dan situs tertentu bisa di-blocking. Sehingga permainan anak bisa sesuai dengan usianya.
“Kalau anak-anak sudah kelas 5-6 SD, atau sudah hampir pubertas, ini saat yang tepat bagi orang tua untuk mulai menanamkan identitas diri. Sehingga anak-anak tidak mengeksplorasi identitas mereka di luar lingkungan rumah,” pesannya. (saf/rst)