Selasa, 20 Mei 2025

Ekonomi Digital Dinilai Lebih Adil Lewat Regulasi Ongkir, Ini Penjelasan Ekonom Unair

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi.

Prof. Dr. Rossanto Dwi Handoyo Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (FEB Unair) menilai diterbitkannya Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital (Permenkomdigi) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Layanan Pos Komersial justru akan menciptakan ekosistem ekonomi digital yang lebih adil dan berkelanjutan.

“Saya lihat memang pemerintah ingin mengatur biaya pengiriman untuk mencegah praktik persaingan yang tidak sehat, dan juga memastikan bahwa biaya pengiriman yang dikenakan kepada konsumen adalah wajar,” kata Prof Rossanto kepada Suara Surabaya, Senin (19/5/2025).

Menurutnya, regulasi ini justru mencegah dominasi praktik-praktik tidak sehat yang sebelumnya terjadi dalam layanan kurir dan pengiriman komersial.

Karenanya, lanjut Prof Rossanto, pemerintah ingin memastikan bahwa baik perusahaan besar maupun pelaku UMKM, punya kesempatan bersaing yang adil dalam melayani konsumennya.

“Dengan detilnya regulasi ini, kita harapkan baik perusahaan besar, e-commerce besar maupun kecil memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing dalam menawarkan harga yang kompetitif kepada konsumen, dan juga ada unsur pelindungan konsumen,” ujarnya.

Guru Besar FEB Unair itu melihat, regulasi ini memungkinkan perusahaan untuk melindungi konsumen dari biaya pengiriman yang tidak wajar, dan memastikan bahwa mereka mendapatkan harga yang adil.

“Jadi regulasi ini saya lihat, merupakan upaya pemerintah untuk mengembangkan ekonomi digital yang sehat dan berkelanjutan sudah nyata,” ungkapnya.

BACA JUGA: Kemkomdigi Batasi Promo Gratis Ongkir E-Commerce Hanya 3 Hari per Bulan
BACA JUGA: Sekjen idEA Sebut Gratis Ongkir Tidak Dibatasi Asalkan Tak Pengaruhi Biaya Logistik

Meski demikian, dia mengakui munculnya kekhawatiran dari kalangan konsumen bahwa regulasi ini akan menghilangkan insentif seperti gratis ongkir, yang selama ini jadi daya tarik belanja online.

Tapi Prof Rossanto menilai, insentif semacam itu sebetulnya hanyalah bagian dari strategi pemasaran. Artinya, bukan benar-benar gratis.

“Jadi kalau selama ini ada yang menyampaikan gratis ongkir, sebetulnya ya enggak juga. Jadi juga sudah banyak disampaikan bahwa sebetulnya justru ongkir itu dibebankan kepada produsen atau UMKM. Sehingga ini hanya memindahkan beban saja menurut saya,” jelasnya.

Menurutnya, yang dibutuhkan adalah kejelasan biaya produksi, ongkos kirim, dan harga akhir yang adil bagi semua pihak. Karena itu, dia menekankan pentingnya transparansi.

“Kalau memang fair ya sebaiknya memang harga yang disampaikan kepada konsumen itu harga yang wajar. Kemudian ongkirnya juga harus sesuai dengan apa yang menjadi biaya yang dikenakan kepada layanan poskomersial ini. Jadi semuanya harus jelas,” tegas Prof Rossanto.

Terkait fenomena “banting harga” yang banyak terjadi di platform belanja online, Prof Rossanto menekankan pentingnya keadilan dalam persaingan. Ia menilai dumping atau praktik menjatuhkan harga secara tidak wajar untuk menyingkirkan kompetitor harus dicegah.

“Kalau dalam perdagangan itu kayak sporadik dumping gitu. Tujuannya adalah untuk menjatuhkan lawan, kompetitor. Supaya kompetitor keluar dari pasar baru kita kemudian bisa menaikkan harga lagi. Kita kan nggak ingin seperti itu. Jadi pada dasarnya semua harus fair,” ucapnya.

Ia menambahkan bahwa prinsip utama dalam ekonomi digital adalah keadilan dan keterbukaan bagi semua pihak yang terlibat. Baik itu konsumen, produsen, maupun penyedia layanan pengiriman/logistik.

“Jangan sampai salah satu dirugikan ya. Konsumen melihat barang dari sisi foto dan video dan sebagainya, tapi kemudian barang juga berbeda, ini juga tidak fair,” katanya.

Ia juga mendorong agar e-commerce bisa diaudit dan diawasi secara ketat oleh pemerintah, agar kepentingan semua pihak terlindungi. Menurutnya, pemerintah harus lebih aktif melakukan pengawasan dan tidak membiarkan praktik yang merugikan masyarakat terus berlangsung.

Regulasi ini, lanjut Prof Rossanto, tidak boleh hanya berhenti pada aspek transportasi atau pengiriman, tapi mencakup keseluruhan proses dalam rantai nilai ekonomi digital. Bahkan, ia mendorong agar pemerintah ke depan juga mempertimbangkan aspek perlindungan tenaga kerja bagi para kurir.

“Kalau bisa ya mitra-mitra ini bisa kita masukkan di dalam kategori misalnya jaminan tenaga kerja gitu ya. Menurut saya, harusnya arahnya sudah sampai ke sana. Kalau mitra kan selama ini bisa saja dipakai, bisa saja enggak. Tapi kalau misalnya sudah masuk dalam konteks perlindungan jaminan tenaga kerja, mereka mendapatkan hak dan kewajibannya secara fair. Dan itu dilindungi oleh undang-undang,” tutupnya. (bil/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Avanza Terbalik Usai Tabrak 2 Mobil Parkir

Mobil Terbakar Habis di KM 750 Tol Sidoarjo arah Waru

Kecelakaan Dua Truk di KM 751.400 Tol Sidoarjo arah Waru

Surabaya
Selasa, 20 Mei 2025
24o
Kurs