
Komisi X DPR RI menyatakan dukungannya terhadap kelanjutan program penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas Kementerian Kebudayaan.
Dukungan tersebut terungkap dalam Rapat Kerja antara Menteri Kebudayaan dengan Komisi X DPR RI di Gedung Nusantara I, Jakarta, Senin (26/5/2025).
Dalam rapat yang dihadiri oleh 34 anggota Komisi X dan delapan fraksi itu, mayoritas menyetujui agar penulisan sejarah Indonesia tetap dilanjutkan.
Turut hadir Wakil Menteri Kebudayaan, jajaran eselon I Kementerian Kebudayaan, serta Tim Penyusun dan Editor Buku Sejarah Nasional.
Dalam Raker ini, Kementerian Kebudayaan dan Komisi X DPR RI menyepakati bahwa penulisan sejarah Indonesia harus melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan agar buku sejarah Indonesia ini dapat ditulis secara objektif, transparan, mendalam, komprehensif, holistik, inklusif dan merepresentasikan memori kolektif bangsa.
Selain itu, juga memiliki manfaat untuk pengetahuan dan pendidikan, serta membangun karakter bangsa yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Hetifah Sjaifudian, Ketua Komisi X DPR RI, mengatakan penting bagi publik untuk mengetahui bagaimana proses penulisan ini dilakukan, serta siapa saja yang dilibatkan.
“Kami ingin Kementerian Kebudayaan menjelaskan secara terbuka bagaimana sejarah ini ditulis. Siapa yang dilibatkan? Apa pendekatannya? Ini penting agar hasilnya bisa dipercaya dan diterima masyarakat,” kata Hetifah.
Fadli Zon Menteri Kebudayaan menekankan bahwa penulisan ulang sejarah Indonesia sangat penting, terutama untuk menghapus bias kolonial yang masih melekat pada narasi sejarah saat ini.
“Urgensi penulisan sejarah ini bukan sekadar akademik. Ini upaya menegaskan perspektif Indonesia-sentris, menjawab tantangan zaman, memperkuat identitas nasional, serta memberi ruang bagi sejarah yang lebih otonom dan inklusif,” tegas Fadli.
Ia menambahkan, sebagian besar narasi sejarah yang diajarkan selama ini masih terjebak dalam kerangka kolonial dan belum cukup relevan dengan tantangan kekinian.
“Kita tidak bisa terus mengandalkan narasi sejarah warisan kolonial. Penulisan sejarah ulang ini bukan lagi pilihan, tapi sebuah keharusan,” ujarnya.
Fadli juga mengungkapkan bahwa proyek ini akan menghasilkan sepuluh jilid buku sejarah, mulai dari masa awal peradaban Nusantara hingga era Reformasi.
Buku tersebut diharapkan dapat menjadi rujukan utama dalam pendidikan sejarah di Indonesia.
“Isi buku ini bukan rincian peristiwa per peristiwa, melainkan kerangka besar sejarah bangsa dari sudut pandang kita sendiri. Perspektif Indonesia yang selama ini kurang mendapat tempat, kini menjadi pusat,” jelasnya.
Menbud juga menyampaikan bahwa proses penulisan saat ini sudah berjalan dan jika mencapai tahap 70 persen, Kementerian akan membuka ruang diskusi publik.
“Nanti akan kami uji publik, libatkan banyak ahli dari berbagai bidang. Ini penting agar buku ini betul-betul mencerminkan memori kolektif bangsa,” tambahnya.
Penulisan sejarah ini, lanjut Fadli, akan bersifat inklusif dan mengedepankan transparansi, objektivitas, serta akuntabilitas akademik.(faz)