
Menyikapi sejumlah persoalan dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2025, Hidayat Nur Wahid Anggota Komisi VIII DPR RI mendesak adanya revisi total terhadap Undang-Undang (UU) Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
Ia juga menegaskan pentingnya penguatan diplomasi antara Indonesia dan Arab Saudi demi menjamin keselamatan serta kenyamanan jemaah.
Pernyataan itu disampaikan Hidayat dalam Dialektika Demokrasi bertajuk “Strategi Timwas Haji Menaikkan Standar Layanan dan Keselamatan Jemaah” di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (4/6/2025).
Menurutnya, rencana pengalihan penyelenggaraan haji dari Kementerian Agama ke sebuah badan mulai tahun 2026 harus dibarengi dengan revisi menyeluruh terhadap regulasi yang ada.
Dia menilai, jika tidak dilakukan, posisi Indonesia dalam bernegosiasi dengan Arab Saudi akan semakin lemah.
“Arab Saudi memiliki Kementerian Haji, sedangkan kita ke depan hanya berbentuk badan. Ini jelas tidak setara dalam komunikasi bilateral. Karena itu, revisi undang-undang harus menyasar lembaga yang punya otoritas penuh dalam mengelola haji dan umrah,” ujarnya.
Hidayat juga mengungkapkan beberapa masalah yang masih terjadi di lapangan, mulai dari pemisahan suami-istri dalam kloter, keterlambatan koper jemaah, hingga pengurangan jumlah tim medis yang berdampak pada keselamatan jemaah.
“Angka jemaah wafat tahun ini bahkan lebih tinggi dari tahun lalu. Salah satu faktornya karena pelayanan kesehatan tidak maksimal. Tim medis yang dikurangi justru berdampak langsung pada nyawa jemaah,” jelasnya.
Ia turut menyoroti lemahnya koordinasi dan komunikasi diplomatik antara Indonesia dan Arab Saudi yang mengakibatkan sejumlah kebijakan penting diumumkan secara mendadak, termasuk pembatalan Visa Furoda.
“Ketika Visa Furoda dibatalkan tiba-tiba pada 26 Mei, banyak jemaah dan biro travel sudah terlanjur mengeluarkan biaya besar. Ini kerugian besar yang seharusnya bisa dicegah bila komunikasi antarotoritas lebih terbuka dan terencana,” ungkap politisi PKS tersebut.
Sebagai langkah strategis, Hidayat mendorong perubahan formula kuota haji di tingkat Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dari 1 per 1.000 menjadi 2 per 1.000 penduduk.
Hidayat menilai saat ini kondisi infrastruktur Arab Saudi sudah jauh lebih siap dan jumlah umat Islam terus bertambah.
“Kalau formula ini diubah, bukan hanya Indonesia yang diuntungkan. Arab Saudi pun bisa lebih cepat mencapai target 6 juta jemaah sesuai Visi 2030. Ini langkah realistis untuk mengurai antrean panjang haji,” tambahnya.
Lebih lanjut, Hidayat juga menyebut bahwa Komisi VIII DPR RI tengah menjajaki kerja sama dengan negara-negara anggota OKI yang kuotanya tidak terpakai, seperti Kazakhstan, sebagai strategi alternatif untuk mengatasi keterbatasan kuota haji Indonesia.
“Kami terus mencari cara untuk membuka jalan bagi jemaah Indonesia. Kerja sama dengan negara-negara OKI bisa jadi solusi konkret dalam jangka pendek,” tutupnya.(faz/ham)