
Aksi mogok petugas pengatur lalu lintas udara di Prancis dilaporkan menyebabkan lebih dari 500.000 orang terdampak dan hampir 1.000 penerbangan dibatalkan dalam dua hari terakhir.
Terkait hal itu, Philippe Tabarot Menteri Transportasi Prancis, menyebut pemogokan ini sebagai tindakan yang tidak dapat diterima.
“Ini tidak dapat diterima. Kemarin dan hari ini, tindakan 272 orang tersebut berdampak pada lebih dari 500.000 orang. Ini juga akan menyebabkan kesulitan keuangan bagi maskapai penerbangan, baik maskapai Prancis maupun asing, karena pemogokan tersebut sangat mahal akibatnya,” ujar Philippe Tabarot dalam wawancara dengan penyiar Europe 1, Jumat (4/7/2025).
Dilansir dari Antara, Sabtu (5/7/2025), Tabarot juga menyoroti kondisi kerja para pengatur lalu lintas udara yang melakukan pemogokan.
Ia mengklaim bahwa mereka telah menerima kenaikan gaji sebesar tujuh persen tahun lalu, bekerja hanya 32 jam per pekan, dan memiliki usia pensiun yang relatif muda yakni 59 tahun.
Namun, salah satu dari dua serikat pekerja yang memimpin aksi mogok menyatakan bahwa jumlah personel saat ini tidak mencukupi untuk menangani beban kerja yang tinggi. Selain itu, para pekerja juga menghadapi tekanan inflasi dan kondisi kerja yang dianggap tidak ideal.
Pemogokan tersebut memicu kekacauan di berbagai bandara besar di Prancis. Pada Jumat, hampir 1.000 penerbangan dibatalkan. Bandara Nice menjadi yang paling terdampak dengan separuh jadwal penerbangan dibatalkan. Diikuti oleh bandara-bandara di Paris (40 persen), serta bandara Lyon, Marseille, Montpellier, Ajaccio, Bastia, Calvi, dan Figari (30 persen).
Sehari sebelumnya, pada Kamis, dilaporkan sebanyak 933 penerbangan juga dibatalkan karena aksi serupa. Tabarot menyatakan bahwa kerugian finansial yang dialami maskapai penerbangan akibat pemogokan ini—termasuk oleh Air France, maskapai utama negara itu—bisa mencapai jutaan euro.
Aksi mogok ini dipimpin oleh dua serikat pekerja pengatur lalu lintas udara, USAC-CGT dan UNSA-ICNA, yang mewakili sekitar 33 persen dari total karyawan di sektor tersebut. Mereka menuntut perbaikan kondisi kerja, pengisian kekurangan tenaga kerja secara struktural, serta mengakhiri praktik manajemen yang dianggap “beracun”. (ant/ata/bil/iss)