
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat memecat lebih dari 1.350 pegawai domestiknya, pada Jumat (11/7/2025) waktu setempat. Langkah ini merupakan bagian dari restrukturisasi besar-besaran di bawah pemerintahan Donald Trump Presiden.
Melansir Reuters, pemutusan hubungan kerja ini mencakup 1.107 pegawai sipil dan 246 pegawai layanan luar negeri, dan diperkirakan akan terus berlanjut hingga total pengurangan mencapai hampir 3.000 staf dari sekitar 18.000 karyawan domestik.
Dalam notifikasi internal, kebijakan ini disebut sebagai upaya untuk “menyederhanakan operasi domestik dan memfokuskan prioritas diplomatik.” Pengurangan ditargetkan pada fungsi non-esensial, kantor duplikat, serta area yang dinilai bisa diefisienkan.
Restrukturisasi ini merupakan implementasi agenda “America First” yang menjadi ciri khas pemerintahan Donald Trump Presiden, di tengah kondisi global yang sedang memanas, seperti perang Rusia di Ukraina, konflik berkepanjangan di Gaza, dan ketegangan antara Israel dan Iran.
Namun, sejumlah mantan diplomat memperingatkan bahwa langkah ini dapat melemahkan posisi diplomatik AS, terutama dalam menghadapi kekuatan global seperti China dan Rusia.
Tim Kaine Senator Demokrat bahkan menyebut kebijakan ini sebagai “salah satu keputusan paling konyol,” mengingat meningkatnya pengaruh diplomatik China, agresi Rusia yang berlanjut, serta situasi genting di Timur Tengah.
Di Kantor Pusat Departemen Luar Negeri di Washington, puluhan karyawan mengadakan clap-out (tepuk tangan) untuk rekan-rekan mereka yang diberhentikan.
Suasana haru mewarnai perpisahan, saat pegawai saling berpelukan dan membawa kotak barang pribadi mereka. Di luar gedung, sejumlah demonstran mengangkat spanduk bertuliskan “Thank you America’s diplomats.” Chris Van Hollen Senator pun turut hadir memberikan dukungan moral.
Proses pemecatan diatur melalui “Transition Day Out Processing”, termasuk pengembalian akses gedung dan perangkat kerja. Akses email dan fasilitas gedung dinonaktifkan tepat pukul 17.00 EDT. Beberapa staf yang menangani program relokasi pengungsi Afghanistan juga ikut terkena dampak pemutusan kerja ini.
Kebijakan tersebut sempat tertunda akibat proses litigasi, namun Mahkamah Agung AS akhir Juni lalu memberikan lampu hijau bagi pemerintahan Trump untuk melanjutkan rencana pemecatan massal.
Reorganisasi ini diprakarsai Donald Trump Presiden dan dijalankan oleh Marco Rubio Menteri Luar Negeri sejak Februari. Rubio menilai diplomasi AS terlalu penuh birokrasi.
Rencananya, sejumlah jabatan tinggi di bidang keamanan sipil, demokrasi, HAM, dan kejahatan perang akan dihapus, dengan penguatan peran biro regional dan kedutaan.
Langkah ini juga sejalan dengan upaya Trump memangkas anggaran birokrasi federal lainnya, termasuk mengintegrasikan lembaga bantuan luar negeri ke dalam Departemen Luar Negeri agar dinilai lebih efisien.
Namun, banyak pihak mengkhawatirkan dampak pemangkasan besar-besaran ini terhadap efektivitas diplomasi AS, terutama di tengah persaingan global yang semakin menuntut respons cepat dan kehadiran strategis di berbagai kawasan. (bil/iss)