
Hari ini, Senin (14/7/2025), Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) bagi siswa baru untuk tahun ajaran 2025-2026 resmi dimulai, dan diikuti oleh seluruh sekolah di Indonesia.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) telah menetapkan bahwa tema tahun ini adalah “MPLS Ramah”, yang mengusung pendekatan berorientasi pada hak anak, penguatan karakter, serta menciptakan suasana belajar yang aman dan menyenangkan.
MPLS sendiri menjadi titik awal bagi para murid untuk mengenal sekolah barunya, guru, teman sebaya, hingga kurikulum yang akan dijalani. Konsep “ramah” dalam MPLS 2025 mengandung makna mendalam, yakni edukatif, efektif, efisien, inklusif, partisipatif, dan fleksibel.
Tapi di mata pengamat pendidikan, keberhasilan implementasi MPLS Ramah tak lepas dari elemen paling penting, yakni keluarga dan lingkungan tempat tinggal siswa.
Prof. Dr. Siti Masito Guru Besar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya (Unesa), menegaskan keberhasilan implementasi MPLS Ramah tidak hanya bergantung pada sekolah, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi rumah dan keterlibatan keluarga.
“Ketika kita bicara soal pendidikan anak, maka tidak bisa dilepaskan dari peran lingkungan rumah. Proses pendidikan itu bukan hanya milik sekolah, tapi juga keluarga. Kalau anak di sekolah belajar inklusif, tapi di rumah justru dikotak-kotakkan, ya tidak akan nyambung,” ujar Prof. Siti dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (14/7/2025).
Ia menjelaskan, inklusivitas yang menjadi bagian dari prinsip MPLS Ramah harus dibangun secara holistik, tidak bisa dipreteli atau dipisah-pisahkan. Semua prinsip, mulai dari ramah hingga fleksibel, harus berjalan bersamaan sebagai satu kesatuan yang mendukung tumbuh kembang anak.
Kalau hanya ramah saja tanpa edukatif dan inklusif, menurut Pengamat Pendidikan Unesa itu, maknanya hanya akan jadi setengah-setengah.
“Jadi harus dibangun bersama-sama, tidak bisa hanya guru saja yang berupaya. Orang tua juga perlu menyadari bahwa proses pendidikan itu berlangsung sepanjang hayat,” imbuhnya.
Prof. Siti lantas menyoroti pentingnya kolaborasi antara guru dan orang tua, termasuk kebijakan baru pemerintah yang mendorong ayah untuk mengantar anak ke sekolah di hari pertama. Hal itu dinilai memiliki makna simbolik yang kuat dalam membangun ikatan emosional dan semangat belajar anak.
“Kalau orang tua mau mengantar anak, walau tidak menunggui, itu bentuk perhatian. Bahkan kalau bisa bertemu guru lalu bilang, ‘bu, saya antar anak saya’, ya itu sudah bentuk komunikasi. Ini tidak bisa dinilai dengan angka, tapi dampaknya besar. Anak merasa dihargai, guru merasa didukung,” jelasnya.
Terakhir, Prof Siti menegaskan kalau pendidikan yang ideal adalah ketika semua pihak bersinergi. Baik itu sekolah, keluarga, maupun lingkungan yang dalam hal ini adalah masyarakat.
Ketika hal ini terjadi, Prof Siti berpendapat kalau proses pendidikan akan menjadi lebih bermakna. Anak juga akan merasa lebih percaya diri menjalani masa transisi di lingkungan sekolah barunya.
“Pendidikan itu bukan urusan guru saja. Jangan sampai kita berpikir bahwa semua tanggung jawab ada di pundak sekolah. Orang tua juga punya peran. Ketika sekolah dan rumah bisa sejalan, di situlah semangat MPLS Ramah bisa benar-benar terasa oleh anak-anak,” pungkasnya. (bil)