
Mau dibawa kemana pembangunan Ibu Kota Nusantara? Setidaknya pertanyaan itulah yang belakangan sering muncul di benak masyarakat seiring pemerintah mengumumkan upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Indonesia akan kembali terpusat di Jakarta, bukan Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur (Kaltim) seperti tahun lalu.
Publik bertanya-tanya, akan seperti apa nasib Ibu Kota Baru Indonesia ini? Mengingat, banyak perencanaan yang sudah disusun mulai dari Presiden berkantor di IKN hingga pemindahan ASN ke IKN, semuanya meleset dari jadwal yang ditentukan karena belum rampungnya pembangunan.
Padahal, biaya proyek IKN sejauh ini sudah memakan biaya cukup besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hingga 2024, megaproyek sejak era Joko Widodo Presiden ke-7 RI itu setidaknya sudah menyerap Rp75,8 triliun dari APBN. Rinciannya, realisasi tahun 2022 sebesar Rp5,5 triliun, 2023 sebesar Rp27,0 triliun, dan 2024 setidaknya mencapai Rp43,3 triliun.
Beragam respon pun muncul, khususnya di sosial media. Publik khawatir dan menduga kalau proyek IKN ini seolah-olah “mangkrak”.
Apalagi, yang terbaru Saan Mustopa Wakil Ketua DPR RI menyarankan pemerintah menetapkan IKN sebagai ibu kota Kaltim. Selain itu, menegaskan kembali Jakarta sebagai ibu kota negara dan merevisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.
Menganggapi respon-respon tersebut, Andrinof Chaniago penggagas awal Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang juga mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, memastikan pembangunan IKN di Kaltim masih berjalan sesuai rencana dan tetap on the track.
Dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (28/7/2025), Andrinof menjelaskan bahwa proses pembangunan fisik IKN saat ini memang masih menjadi prioritas utama. Namun, pengembangan sektor sosial, budaya, dan ekonomi juga mulai dirancang seiring waktu.
“Kalau sekarang sampai sekarang, sekarang kan memang masih tahapan fisik ya, dan tahapan fisik itu termasuk kalaupun ada tugas pengelolaan itu dalam rangka mengelola pembangunan fisik itu, itu yang dilakukan oleh Otorita IKN. Tapi juga Otorita IKN saya lihat juga sudah menjaga perkembangan pembangunan-pembangunan lain seperti pembangunan budaya, sosial, ekonomi gitu ya. Jadi sejauh ini kalau saya lihat masih on the track, masih sesuai dengan jalurnya,” ungkapnya.
Meski demikian, Andrinof juga mengkritisi pendekatan yang sempat terlalu fokus pada pencarian investor besar di masa akhir pemerintahan Jokowi Presiden. Menurutnya, langkah tersebut menyimpang dari misi awal IKN yang sebetulnya lebih bersifat untuk pelayanan publik.
“Memang sempat waktu di akhir masa pemerintahan Pak Jokowi terlalu memaksakan untuk mengejar investor, investor-investor besar. Nah itu yang saya pernah ingatkan berapa kali bahwa itu enggak tepat, enggak logis, dan juga bukan itu misi utama dari pembangunan IKN,” tegasnya.
Sementara mengenai isu pembiayaan, mantan Kepala Bappenas itu meluruskan anggapan keliru yang menyebut bahwa pembangunan IKN hanya mengandalkan investor.
“Bukan, konsep anggaran itu yang sering disalahpahami oleh orang atau mungkin orang yang memang cuma sekedar ingin mengkritik tapi tidak punya pemahaman terhadap konsep yang sebenarnya. Akhirnya angka yang disebut total Rp466 triliun itu adalah angka total perkiraan untuk menyelesaikan pembangunan, untuk membuat kota ini terwujud. Terwujud itu di tahun 2045, ukurannya seperti itu,” jelasnya.
Menurut perhitungannya, anggaran negara bisa mencakup 30–40 persen dari total kebutuhan, bukan hanya 20 persen seperti yang pernah disebut.
“Kalau hitungan logis saya dulu sekitar 200 triliun untuk total yang dibiayai oleh negara. Itu artinya bisa 30-40 persen. Betul, lebih dari 20 persen. Nah sisanya itulah yang nanti diisi oleh pihak swasta, investor, untuk kawasan-kawasan komersial yang mendukung atau memenuhi permintaan aktivitas kota pemerintahan.”
Di sisi lain, soal usulan Saan Mustopa agar IKN difungsikan lebih dulu sebagai Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur sebelum resmi menjadi ibu kota negara, Andrinof menggap kalau usulan itu hanya sebatas gertakan.
“Enggak, itu adalah gertakan. Saya menganggap itu tidak serius. Itu gertakan supaya ini betul-betul diperhatikan. Rekomendasi yang pertama itu,” jawabnya.
Ia menambahkan, permintaan agar fasilitas yang sudah dibangun segera difungsikan memang masuk akal. Termasuk soal usulan agar Wakil Presiden mulai berkantor di sana.
Namun menurutnya, hal itu tidak otomatis menjadikan IKN sebagai ibu kota definitif. Karena dibutuhkan keputusan presiden (keppres) untuk mengesahkan pemindahan tersebut.
“Sebetulnya itu boleh saja Keppres keluar untuk pemindahan sebagian, tapi bukan untuk resmi pindah ibu kota. Nah ini kadang-kadang sebagian ahli-ahli hukum ini enggak, berpikirnya hitam putih. Itulah yang saya bilang suka mengeluarkan jalan buntu.”
Kata Andrinof, proses pemindahan ibu kota bisa dilakukan bertahap. Pemerintah dan pejabat negara bisa mulai berkantor di IKN tanpa harus menunggu semua proses hukum rampung. Apalagi koordinasi di era digital sudah sangat memungkinkan dilakukan dari jarak jauh.
Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) itu juga menekankan bahwa pembangunan IKN akan membawa efek domino yang positif bagi seluruh wilayah, termasuk Jawa Timur.
“Karena kalau Kalimantan itu juga tumbuh industri, penduduknya juga bertambah, kemudian ada kota jasa, kota IKN, maka permintaan terhadap produk-produk dari Jawa Timur juga akan meningkat. Juga lapangan kerja di kawasan Kalimantan untuk pencari kerja dari Jawa Timur juga akan makin terbuka, jadi ini untuk saling menumbuhkan kesejahteraan bersama,” ujarnya.
Terakhir, Andrinof menegaskan bahwa IKN adalah proyek jangka panjang yang menjadi tekad bangsa, bukan hanya program satu pemerintahan. “Ya betul, jadi IKN tetap jalan. Karena itu sudah itu kan tekad bangsa, tekat negara bukan satu kelompok, satu segelintir orang,” pungkasnya. (bil/iss)