
Kenaikan drastis Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga ratusan persen di sejumlah daerah dinilai sebagai gejala kegagalan desentralisasi dan makin kuatnya kecenderungan “jalan pintas” fiskal oleh kepala daerah.
Ahmad Khoirul Umam, Managing Director Paramadina Public Policy Institute, menyoroti lonjakan PBB yang terjadi di berbagai wilayah seperti Kabupaten Pati (Jawa Tengah) dan Bone (Sulawesi Selatan). Kenaikan yang signifikan ini tidak hanya memicu keresahan publik, tapi juga mengancam stabilitas sosial-politik lokal.
Umam mengatakan bahwa langkah kepala daerah menaikkan PBB secara ekstrem menunjukkan pola pikir dangkal dan pragmatis, yang menandakan kegagalan dalam menggali potensi ekonomi lokal secara inovatif.
Ia mengungkapkan, fenomena ini tidak lepas dari kuatnya politik transaksional dalam Pilkada langsung, di mana kepala daerah yang terpilih cenderung mencari sumber pembiayaan instan pasca menjabat.
Di saat bersamaan, pemangkasan dana transfer dari pusat memaksa daerah mencari penerimaan alternatif, meski pendekatannya cenderung dangkal.
Selain itu, banyak kepala daerah tidak memiliki desain pembangunan berkelanjutan, sehingga memilih langkah fiskal cepat yang justru membebani masyarakat.
Umam menegaskan bahwa kebijakan fiskal seperti ini, apalagi diterapkan tanpa partisipasi publik dan mitigasi yang memadai, sangat berisiko menciptakan instabilitas.
Lebih jauh, jika tidak dibarengi transparansi dan akuntabilitas, penerimaan pajak daerah berpotensi diselewengkan. Skema ini bisa menjadi celah korupsi baru yang menggantikan praktik jual beli jabatan yang selama ini marak.
“Kebijakan seperti ini mengancam prinsip dasar tata kelola pemerintahan yang baik. Ini bukan hanya soal kenaikan pajak, tapi soal arah kebijakan daerah yang tak lagi berpihak pada rakyat,” tegasnya, Sabtu (16/8/2025).
Ia juga menilai bahwa fenomena ini menunjukkan kegagalan struktural dalam pelaksanaan desentralisasi pasca-Reformasi.
Banyak daerah masih mengandalkan pendekatan fiskal yang represif ketimbang mendorong inovasi kebijakan produktif.
Dia mendorong pemerintah pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri, untuk memperketat pengawasan terhadap kebijakan fiskal di daerah.
Kebijakan yang menekan daya beli masyarakat harus dicegah, dan digantikan dengan strategi yang mampu mengoptimalkan potensi ekonomi lokal secara berkelanjutan.
Selain itu, partai politik diminta melakukan perbaikan menyeluruh dalam proses rekrutmen calon kepala daerah. Kepala daerah harus dipilih berdasarkan kompetensi, integritas, dan visi pembangunan jangka panjang.
“Kalau langkah korektif tidak segera dilakukan, sistem desentralisasi kita akan gagal memaksimalkan potensinya. Rakyat yang akan terus jadi korban dari kebijakan dangkal yang hanya mementingkan kepentingan jangka pendek,” tutup Umam. (faz)