Rabu, 20 Agustus 2025

HUT ke-80 RI: Ujian Persatuan di Era Digital dan Polarisasi Media Sosial

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Ilustrasi - Pengibaran Bendera Merah Putih pada HUT ke-80 RI di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Minggu (17/8/2025). Foto: M. Irfan Azhari Mg suarasurabaya.net

Tema peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju,” kembali menegaskan pentingnya persatuan sebagai fondasi utama bangsa.

Di tengah perubahan zaman, tantangan terhadap persatuan tidak lagi berupa penjajahan fisik, melainkan hadir dalam bentuk baru: hoaks, ujaran kebencian, serta polarisasi di ruang digital.

Nilai persatuan yang menjadi jiwa bangsa Indonesia—tercermin dalam sila ketiga Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika—kini diuji oleh arus informasi yang tidak selalu benar dan sering kali digunakan untuk memecah belah masyarakat.

Survei Microsoft pada tahun 2020 mencatat bahwa tingkat kesopanan digital masyarakat Indonesia adalah yang terendah di Asia Tenggara. Penyebab utamanya adalah maraknya hoaks, ujaran kebencian, diskriminasi, hingga cyberbullying.

Hal ini menjadi peringatan serius bahwa menjaga kerukunan di ruang digital adalah tanggung jawab bersama, agar Indonesia dapat tumbuh menjadi bangsa yang dewasa dalam keberagaman.

Kandi Aryani dosen Komunikasi Universitas Airlangga menilai bahwa media sosial belum mencerminkan semangat persatuan bangsa. Menurutnya, masyarakat masih berjuang untuk mengelola perbedaan yang muncul, baik dari dalam diri sendiri maupun dari interaksi dengan orang lain.

“Kadang kita dihadapkan dengan pemberitaan yang berbeda, dan diri kita sendiri tak mudah untuk bisa mengkurasi, mengevaluasi sebuah konten mana sebenarnya yang benar dan mana yang tidak. Dan membutuhkan waktu untuk memutuskan. Sehingga seringkali di dalam diri kita itu masih hidup beberapa perspektif, atau beberapa keyakinan yang berbeda,” kata Kandi Aryani dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Rabu (20/8/2025).

Kandi Aryani juga menyoroti media sosial sebagai ruang di mana berbagai suara yang sebelumnya tak terdengar kini mendapatkan tempat. Namun, alih-alih memperkuat persatuan, media sosial justru membuka ruang bagi polarisasi.

Kandi Aryani menjelaskan, aktivitas sehari-hari seperti mengunggah, mengikuti akun tertentu, atau membagikan ulang konten yang sesuai dengan preferensi pribadi, tanpa disadari menciptakan kelompok-kelompok yang berpikir seragam.

“Ketika misalkan kita terlalu banyak mendengar atau mengklik konten A sementara kita menutup diri semua konten-konten yang tidak selaras dengan apa yang kita sukai dan yakini, maka algoritma media sosial merekam dan mencatat itu,” katanya.

“Sehingga kemudian apa yang mampir di feed kita itu tentu saja yang selama ini sudah sering untuk kita klik atau yang kita suka. Sehingga memang betul terjadi polarisasi itu. Nah bagaimana memoderasi itu ini ya, untuk bertemu di titik tengah. Itulah tantangannya sebenarnya,” ujarnya menambahkan.

Kandi Aryani menekankan bahwa media sosial bukan satu-satunya “jagat” atau ruang yang kita miliki. Sayangnya, masyarakat sering terlalu banyak menghabiskan energi di dunia digital, hingga melupakan pentingnya ruang pertemuan lain di dunia nyata.

“Karena kita menjadi semakin sedikit bertemu dengan orang, kita semakin sedikit berbicara. Yang kita lakukan itu ya kita monolog saja di media sosial. Menulis status, membuat story, itu kan monolog. Tidak men-trigger sesuatu yang mungkin lebih dialogis,” jabarnya.

Menurutnya, tidak semua komunikasi perlu direspons. Masyarakat perlu belajar untuk melakukan seleksi terhadap informasi dan memilih dengan siapa dan dalam konteks apa mereka akan berdialog.

“Ketika dialog itu memang sudah sangat violent, sangat penuh dengan kekerasan, kita tidak perlu berdialog. Kita bisa menggunakan fitur pelaporan di media sosial untuk mengadukan konten yang melanggar nilai-nilai publik,” kata Kandi Aryani.

Sebaliknya, ketika ada perbedaan pendapat yang disampaikan dengan niat baik dan terbuka, itulah kesempatan untuk berdialog dan memperluas wawasan.

“Karena memang kita tidak bisa hanya terus-menerus dalam sebuah eco chamber yang kita memenuhi diri dengan pendapat yang sama, tetapi kita sudah mulai harus bisa mendewasakan diri berhadapan dengan opini dari kelompok lain yang berbeda,” terangnya.

Ia juga mendorong masyarakat untuk lebih aktif menyebarkan suara-suara yang penting namun kurang populer, agar tidak tertimbun oleh konten-konten sensasional yang tidak membawa manfaat.

Ketika ditanya apakah masyarakat Indonesia siap menghadapi tantangan ini, dia menjawab dengan optimistis, meski tetap realistis.

“Memang tidak mudah, karena masyarakat kita sedang menghadapi berbagai tekanan hidup yang kompleks,” sebutnya.

Menurutnya, masyarakat sipil adalah kekuatan utama yang bisa menciptakan ruang aman untuk berdialog, saling memahami, dan mencari titik temu, meski memiliki cara pandang yang berbeda.

Terkait dengan keberadaan buzzer atau influencer yang kerap memperuncing perbedaan, dia menilai keberadaan mereka sulit dikontrol secara hukum karena sering kali anonim dan sulit dilacak. Namun dia menegaskan bahwa solusi tidak selalu harus datang dari regulasi pemerintah.

Justru pedoman etika dinilai bisa lebih efektif bila disusun oleh masyarakat sipil—seperti kampus, lembaga bantuan hukum, atau organisasi yang bergerak di bidang digital. Kelompok inilah yang bisa menjadi perantara antara negara dan masyarakat.

Dia menambahkan, regulasi yang lahir dari masyarakat sendiri akan lebih diterima daripada aturan yang turun dari atas, yang seringkali justru menimbulkan kecurigaan. (saf/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Rabu, 20 Agustus 2025
26o
Kurs