
Pemerintah perlu lebih aktif mendengarkan dan menyerap aspirasi dari gerakan-gerakan perempuan di tingkat akar rumput. Hal itu disampaikan oleh Aldy, salah satu pemerhati isu gender, dalam Seminar Refleksi Delapan Dekade dan Proyeksi Indonesia 2045 yang membahas pemberdayaan perempuan di Indonesia.
Menurut Aldy, gerakan akar rumput bisa menjadi dorongan penting bagi pemerintah untuk memperbaiki kebijakan agar lebih berpihak pada kesetaraan gender.
“Pemerintah perlu menjadikan gerakan akar rumput sebagai motivasi untuk mendorong perubahan kebijakan. Terutama dalam hal aksesibilitas bagi perempuan,” kata Aldy di acara Seminar yang bertempat di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Kamis (21/8/2025).
Ia juga menyinggung data dari Exclusion by Gender Index yang dirilis V-Dem. Menurutnya, skor indeks tersebut bisa menjadi alat ukur seberapa jauh perempuan masih mengalami eksklusi dalam kebijakan publik.
“Semakin mendekati angka 0, berarti tingkat eksklusi makin rendah. Itu pertanda baik,” jelasnya.
Sementara itu, Ayu Gendis Wardani, Analis Utama Maha Data dan Gender LAB 45, menambahkan bahwa pengukuran kesetaraan gender juga bisa dilihat dari Indeks Ketimpangan Gender (IKG) dan Gender Inequality Index (GII).
“IKG dan GII penting untuk mengukur seberapa besar ketimpangan gender yang masih terjadi, dan bagaimana posisi Indonesia dibandingkan negara-negara lain, terutama kawasan ASEAN dan negara Nordik,” ujar Ayu.
Dia menyebutkan, tren pemberdayaan perempuan di Indonesia sebenarnya menunjukkan perbaikan dari waktu ke waktu. Ia mencontohkan penurunan signifikan skor IKG pada era reformasi.
“Misalnya, dari nilai 0,696 pada tahun 1997 turun ke 0,421 di tahun 1999, setelah lengsernya Soeharto. Itu menunjukkan kemajuan dalam hal kesetaraan,” tandasnya.
Meski demikian, keduanya sepakat bahwa kerja keras masih dibutuhkan, terutama dalam menyusun kebijakan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan perempuan di semua level masyarakat.(faz/ham)