Jumat, 22 Agustus 2025

Tunjangan Pajak Pejabat Publik: Legalitas yang Menyisakan Luka Rasa

Laporan oleh Eddy Prastyo
Bagikan
Ilustrasi. Foto: AI

Beberapa hari lalu, penulis Tere Liye menuliskan kritik tajam di media sosialnya. Ia menyebut bahwa direksi BUMN yang sudah bergaji puluhan miliar per tahun masih mendapat tunjangan pajak penghasilan. Angkanya, kata dia, bisa mencapai belasan miliar rupiah per orang setiap tahun.

Kritik ini memantik heran dan menyentuh rasa keadilan publik, karena buruh, guru honorer, dan pegawai swasta yang bergaji pas-pasan tetap harus dipotong PPh 21 setiap bulan, sementara mereka yang berada di lapisan atas seakan-akan tidak pernah merasakan potongan itu secara langsung. Publik bertanya: adilkah ini?

Kami mencoba menelusuri aturan yang menjadi dasar praktik tersebut. Di ranah BUMN, Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-3/MBU/03/2023 tentang Organ dan Sumber Daya Manusia menyatakan dengan terang bahwa pajak atas gaji, honorarium, dan tunjangan direksi maupun komisaris ditanggung dan menjadi beban perusahaan.

Di kementerian dan lembaga negara, pola serupa berlaku. Perpres Nomor 92 Tahun 2016, yang kemudian digantikan Perpres 135 Tahun 2024, menegaskan bahwa PPh atas tunjangan kinerja pegawai dibebankan pada APBN. Di Kementerian Pertahanan, Permenhan Nomor 32 Tahun 2017 bahkan secara eksplisit menyebutkan bahwa tunjangan pajak penghasilan Pasal 21 diberikan, dan pajaknya ditanggung pemerintah. Semua ini jelas, legal, dan sah secara hukum.

Dalam laporan tahunan PLN, misalnya, ada pos “Tanggungan PPh 21” untuk direksi dan komisaris dengan nilai ratusan miliar rupiah. Pos ini masuk dalam biaya operasional atau OPEX.

Artinya, setiap rupiah yang dibayarkan untuk menanggung pajak pejabat adalah rupiah yang tidak masuk ke laba perusahaan, dan otomatis tidak menambah dividen yang seharusnya bisa disetor ke kas negara. Negara memang tetap menerima PPh 21 secara administratif, tetapi publik kehilangan potensi dividen yang semestinya kembali ke rakyat melalui APBN.

Mengapa skema gross-up ini muncul? Secara akuntansi, jawabannya sederhana: gross-up dianggap rapi. Pajak tetap tercatat, kepatuhan formal terjaga, take-home pay individu tidak berkurang, dan tunjangan pajak yang ditanggung perusahaan bisa diakui sebagai biaya yang dapat dikurangkan.

Negara puas karena setoran PPh 21 tidak berkurang, perusahaan tenang karena bisa membukukannya sebagai biaya, pejabat atau karyawan senang karena gajinya utuh.

Secara politik, gross-up lahir dari logika menjaga kenyamanan elite. Pemerintah ingin mempertahankan daya tarik jabatan publik dan posisi direksi BUMN agar tetap kompetitif dibanding swasta, sekaligus menghindari resistensi pejabat yang merasa gajinya besar tapi terpotong pajak besar pula. Dengan gross-up, mereka tidak merasakan beban itu, karena institusi yang menanggungnya.

Kami mencoba meminta klarifikasi resmi ke Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN. Hingga catatan ini ditulis, tidak ada jawaban yang diberikan. Senyap. Padahal yang dipertanyakan publik bukan sekadar teks hukum, melainkan rasa adil.

Di hulu, pemerintah terus menggaungkan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak demi menopang fiskal. Di hilir, rakyat kecil tetap merasakan potongan setiap bulan, sementara pejabat birokrasi dan direksi BUMN justru merasakannya sebagai tunjangan tambahan.

Secara hukum, semua ini tidak bermasalah. Secara teknis, dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi negeri ini sedang menghadapi krisis yang tidak bisa dijawab hanya dengan legalitas. Trust issue tumbuh bukan dari pasal dan aturan, melainkan dari pengalaman sehari-hari.

Ketika rakyat kecil melihat slip gajinya berkurang karena pajak, mereka ingin percaya bahwa pejabat dan elite juga merasakan hal yang sama. Bukan malah menerima top-up dari anggaran lembaga.

Di sinilah luka rasa itu menganga. Pajak adalah gotong royong modern, beban yang semestinya dipikul bersama. Gotong royong itu tidak akan pernah adil jika rakyat kecil menanggungnya langsung sementara elite merasakannya sebagai fasilitas. Ini sejak 73% penerimaan negara di tahun 2025 misalnya, berasal dari pajak masyarakat (PPh, PPN, cukai, dll)

Teladan fiskal seharusnya dimulai dari atas. Karena pada akhirnya, rasa adil tidak berhenti pada kata “legal”. Ia lahir dari keberanian dan kejujuran untuk menanggung beban yang sama.

Presiden memang patut diapresiasi ketika berani menghapus tantiem untuk komisaris BUMN. Itu langkah penting untuk menekan privilege yang kerap menggerus kepercayaan publik. Namun langkah itu belum cukup. Masih ada instrumen lain, tunjangan pajak melalui skema gross-up, yang tetap menimbulkan rasa tidak adil di masyarakat dan sampai hari ini belum tersentuh. Dan selama itu masih dibiarkan, luka rasa publik tetap terbuka.

Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media

“Pajak adalah gotong royong, bukan privilege yang dibayar dengan uang rakyat.”

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Jumat, 22 Agustus 2025
28o
Kurs