Minggu, 24 Agustus 2025

Kemenperin Soroti Impor Tekstil Melonjak, tapi Transparansi Laporan Minim

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Febri Hendri Antoni Arif Juru Bicara Kementerian Perindustrian. Foto: Antara

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan pentingnya transparansi, kepatuhan administratif, serta konsistensi strategi dalam menjaga daya saing industri tekstil nasional, khususnya sektor hulu yang berada di bawah naungan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI).

Febri Hendri Antoni Arif Juru Bicara (Jubir) Kemenperin mengungkapkan, kepatuhan anggota APSyFI dalam melaporkan aktivitas industrinya masih rendah.

Berdasarkan data Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas), dari 20 perusahaan anggota APSyFI, hanya 15 yang rutin melapor, sementara lima perusahaan lainnya absen sama sekali.

“Masih ada perusahaan besar anggota APSyFI yang tidak melaporkan kinerjanya. Padahal kewajiban pelaporan ini adalah bentuk akuntabilitas industri kepada negara. Minimnya komitmen administratif justru melemahkan posisi asosiasi yang mengklaim sebagai garda depan tekstil nasional,” kata Febri di Jakarta, Minggu (24/8/2025) seperti dilansir Antara.

Febri juga menyoroti adanya anomali dalam kinerja anggota APSyFI. Di satu sisi, asosiasi menuntut pemerintah memperketat impor tekstil. Namun di sisi lain, impor benang dan kain justru meningkat tajam dan dilakukan oleh anggota asosiasi sendiri.

Data Kemenperin menunjukkan, impor benang dan kain oleh anggota APSyFI melonjak lebih dari 239 persen, dari 14,07 juta kilogram pada 2024 menjadi 47,88 juta kilogram pada 2025.

“Ada anggota APSyFI yang memanfaatkan fasilitas kawasan berikat maupun API umum, sehingga bebas melakukan impor besar-besaran. Mereka menuntut proteksi, tapi sekaligus aktif menjadi importir. Ini jelas kontradiktif dengan semangat kemandirian industri,” tegas Febri.

Selama ini, pemerintah telah memberikan berbagai bentuk perlindungan dan instrumen fiskal bagi industri hulu tekstil, antara lain bea masuk antidumping (BMAD) polyester staple fiber (PSF) yang sudah berjalan sejak 2010 dan berlaku hingga 2027.

‎Selain itu, BMAD spin drawn yarn (SDY) yang berlaku hingga 2025, bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) benang dari serat sintetis yang berlaku hingga 2026, serta masih ada BMTP kain yang berlaku sampai 2027.

“Artinya, industri anggota APSyFI sudah menikmati keuntungan ganda, yaitu proteksi tarif dan fasilitas impor. Sayangnya, tidak diimbangi dengan investasi baru maupun modernisasi teknologi,” ucap Febri.

Febri menambahkan, jika usulan APSyFI untuk menerapkan BMAD dengan tarif 45 persen diikuti, maka risikonya adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) massal hingga 40.000 pekerja di sektor hilir.

“Ini bisa menjadi tragedi nasional. Sementara potensi PHK di sektor hulu yang lebih kecil masih dapat dimitigasi dengan optimalisasi serapan lokal,” jelasnya.

Meski diwarnai dinamika, sektor tekstil pada kuartal I dan II 2025 tetap tumbuh di atas 4 persen. Menurut Kemenperin, capaian ini perlu dijaga dengan kolaborasi, bukan saling menyalahkan.

“Kami berharap asosiasi industri melihat kebijakan pemerintah secara objektif. Yang dibutuhkan saat ini adalah kepatuhan, transparansi, dan kerja sama. Narasi menyesatkan justru bisa merugikan industri secara keseluruhan,” pungkas Febri. (ant/bil/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Minggu, 24 Agustus 2025
30o
Kurs