Senin, 25 Agustus 2025

Bisakah Gerakan Rakyat Membubarkan DPR? Begini Penjelasan Pakar Hukum Tata Negara

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Suasana Rapat Paripurna DPR RI di gedung Nusantara II Kompleks Parlemen Senayan Jakarta saat pengesahan RUU BUMN menjadi UU, Selasa (4/2/2025). Foto: Faiz Fadjarudin suarasurabaya.net

Seruan aksi besar-besaran turun ke jalan pada hari ini, Senin (25/8/2025) Agustus, ramai dan viral di media sosial. Poster dan tagar yang bertebaran di jagat maya pun tak main-main seruannya, “Mendesak Prabowo Subianto Presiden RI untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI”.

Gerakan ini pun akhirnya memicu pembicaran, spekulasi, dan perdebatan. Banyak yang bertanya-tanya, apakah ini murni gerakan rakyat? Atau sekadar hoax untuk menciptakan kekacauan.

Tapi, dari narasi yang beredar, seruan turun ke jalan ini tak lain adalah akumulasi kekecewaan dan kemarahan masyarakat. Pemicunya? tak lain adalah serangkaian kontroversi yang belakangan dipertontonkan secara nyata oleh anggota dewan.

Mulai dari aksi joget-joget saat acara pidato kenegaraan jelang Hari Kemerdekaan yang dinilai kurang pantas, kenaikan tunjangan DPR yang fantastis di tengah kesulitan ekonomi, permintaan salah satu anggota dewan agar disediakannya smooking room atau area khusus merokok di dalam kereta, hingga pernyataan agar elite tidak dibandingkan dengan “rakyat jelata”.

Serentetan kontroversi itulah yang disinyalir membuat masyarakat jengah, hingga lahirnya seruan aksi turun ke jalan mendesak Presiden membubarkan DPR.

Terkait hal ini, Haidar Adam pakar hukum tata negara Universitas Airlangga (Unair) pun mengamini kalau seruan aksi tersebut, tak lain memang refleksi atau cermin dari rasa frustasi masyarakat dengan situasi saat ini.

“Yang satu yang pasti ya. Itu semuanya saya kira merefleksikan betapa kemudian masyarakat sudah sangat frustrasi dengan situasi hari ini. Di mana, kemudian DPR tidak menjalankan fungsi yang seharusnya diembannya,” ujar Haidar dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (25/8/2025).

Menurut Haidar, fungsi utama DPR sebagai lembaga yang melakukan “balancing, checking, pengawasan terhadap cabang kekuasaan lain” kini tidak berjalan maksimal. Bahkan, DPR disebutnya hidup dalam semacam “bubble parlemen” yang abai pada aspirasi masyarakat.

“Situasi apapun di luar lingkar mereka itu mereka masa bodoh saja, dan itu terefleksikan dalam beberapa situasi di mana mereka tidak mendengar aspirasi masyarakat pada saat perumusan undang-undang, atau menyikapi suatu peristiwa tertentu. Seperti Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang TNI, dan banyak hal lain,” jelasnya.

Lebih jauh, Haidar menyebut DPR saat ini berada dalam kondisi “captive of parlemen”, yakni lembaga legislatif yang tidak mampu menjalankan fungsi pengawasan karena loyalitasnya kepada eksekutif.

“Enggak ada oposisi, enggak ada proses kritisi. Nah, ini yang berbahaya untuk kehidupan demokrasi ke depan,” jelasnya.

Untuk diketahui, upaya pembubaran parlemen itu sebetulnya pernah hampir terjadi di era dua presiden terdahulu, yakni Soekarno Presiden pada 1959, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Presiden pada 2021 lalu. Masing-masing upaya itu dilakukan lewat Dekrit Presiden.

Tapi menurut Haidar, meski upaya pembubaran DPR memang pernah terjadi dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, tapi hal itu tidak bisa dilakukan secara serampangan. Ia menegaskan bahwa secara hukum tata negara, hal itu hanya bisa dilakukan melalui jalur konstitusional maupun inkonstitusional.

“Yang konstitusional itu berarti bahwa mekanisme yang dibuat oleh konstitusi itulah yang harus ditempuh dengan cara melakukan perubahan terhadap konstitusi. Jadi DPR bisa saja hilang, tetapi mekanismenya itu harus seturut (selaras–red) dengan yang diatur dalam konstitusi,” ungkapnya.

Menurutnya, di Undang-Undang Dasar, dijelaskan kalau masyarakat atau perumus konstitusi menghendaki DPR dihilangkan, maka hal itu bisa dilakukan.

“Tetapi dalam konteks suatu negara demokrasi, DPR itu seperti semacam suatu hal yang mungkin dibenci, tapi di sisi lain, sangat dibutuhkan. Karena kaitannya untuk mengimbangi dan mengecek kekuasaan. Tapi kalau ini tidak berjalan, jadi problem memang kita di masyarakat,” bebernya.

Haidar mengingatkan, jika DPR benar-benar dibubarkan tanpa sistem pengganti yang matang, maka risiko besar yang muncul adalah otoritarianisme karena tidak ada lagi lembaga yang mengontrol eksekutif.

Kalau DPR bubar dan tidak ada rencana pengganti atau rencana yang sangat kuat untuk memperkokoh sistem ketatanegaraan, dia khawatir yang terjadi justru masyarakat memberikan karpet merah untuk otoritarianisme, karena penguasa tidak ada yang mengontrol.

Menurut Haidar, dibanding membubarkan DPR, solusi yang lebih realistis adalah mendorong perbaikan internal lembaga legislatif sekaligus peningkatan literasi politik warga negara.

“DPR memang harus melakukan evaluasi diri. Aspirasi masyarakat harus diakomodir. Di sisi lain warga negara juga penting untuk memperbaiki diri, membaca lebih banyak, terlibat aktif dalam kegiatan politik, sehingga pilihan politiknya lebih tepat,” ucapnya.

Ia juga menekankan peran masyarakat sipil dalam mengawasi DPR, agar tidak abai terhadap kepentingan publik.

“Mungkin DPR hari ini, pemerintah hari ini, penegak hukum hari ini, mereka lebih takut kalau masalahnya viral daripada mereka dengan kesadaran pribadi memperbaiki sistem. Jadi viralism itu yang kemudian mungkin harus dimunculkan di kelompok masyarakat sipil, sehingga mereka merasa diawasi oleh para konstituennya,” tegas Haidar. (bil/iss)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Senin, 25 Agustus 2025
29o
Kurs