
Prasetyo Hadi Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) yang juga Juru Bicara Presiden RI, menyebut pemerintah akan mempelajari lebih dulu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru yang melarang wakil menteri (wamen) merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, termasuk komisaris BUMN.
MK sebelumnya dalam sidang putusan di Ruang Sidang Pleno MK di Jakarta, Kamis (2/8/2025) sore, menetapkan keputusan itu untuk perkara nomor 128/PUU-XXIII/2025.
“Baru saja kami mendapatkan informasinya, sehingga tentu pertama kita menghormati segala keputusan dari Mahkamah Konstitusi,” kata Prasetyo Hadi menjawab pertanyaan wartawan saat ditemui di Istana Kepresidenan RI, Jakarta, seperti dilansir Antara.
Meski demikian, kata dia, tentu berdasarkan hasil keputusan tersebut akan mempelajari dan akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, terutama dalam hal ini kepada Bapak Presiden (Prabowo Subianto) untuk kemudian nanti dibicarakan apa yang menjadi tindak lanjut dari hasil keputusan MK tersebut.
Pras sapaan akrabnya, pun memohon waktu, dan meminta masyarakat bersabar. “Jadi, kami mohon waktu terlebih dahulu karena juga baru beberapa saat yang lalu itu dibacakan keputusannya,” sambungnya.
Suhartoyo Ketua Mahkamah Konstitusi membacakan putusan MK untuk perkara nomor 128/PUU-XXIII/2025 yang mengabulkan permohonan Pemohon I untuk sebagian.
Mahkamah secara eksplisit memasukkan frasa “wakil menteri” ke dalam norma Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang pada mulanya hanya berisi larangan rangkap jabatan untuk menteri.
MK menyatakan Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang tertuang dalam amar putusan.
Dengan putusan itu, Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara saat ini pun menjadi: “Menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD.”
Perkara 128 itu dimohonkan oleh advokat Viktor Santoso Tandiasa sebagai Pemohon I dan pengemudi ojek daring Didi Supandi. Namun, MK menyatakan permohonan Didi tidak dapat diterima karena yang bersangkutan tidak memiliki kedudukan hukum.
Terhadap putusan tersebut, dua orang hakim menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion), yakni Daniel Yusmic P. Foekh dan Arsul Sani Hakim Konstitusi. (ant/bil/ham)