Minggu, 7 September 2025

Pengamat: Demokrasi Sehat Lahirkan Wakil Rakyat Berdasarkan Rekam Jejak, Bukan Sekadar Wajah di Foto

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Gedung Nusantara ataubdikenal dengan gedung kura-kura kompleks parlemen Senayan Jakarta. Foto: Faiz Fadjarudin suarasurabaya.net

Baihaki Sirajt Direktur Lembaga Survei Accurate Research and Consulting Indonesia (ARCI) menegaskan pentingnya keterbukaan rekam jejak calon anggota legislatif sebagai pondasi demokrasi yang sehat dan berkualitas.

Menurutnya, momentum gelombang demonstrasi yang terjadi pada akhir Agustus lalu harus menjadi titik balik untuk memperbaiki sistem politik di Indonesia, termasuk dalam proses pemilihan wakil rakyat.

“Preferensi publik sudah seharusnya pada rekam jejak politisi, jangan terjebak branding atau pencitraan tapi ternyata dipengaruhi kamuflase strategi kemenangan. Ujungnya yang dipilih tentu tidak bisa dituntut kerja, karena mereka merasa dipilih karena faktor kecantikan atau kecakapan visual belaka,” tegas Baihaki dalam keterangannya, Sabtu (6/9/2025).

Ia menyebut wacana menaikkan syarat minimal pendidikan calon anggota DPR menjadi S2 atau S3 bukan sekadar harapan, tetapi sebuah kebutuhan.

Pendidikan tinggi, lanjutnya, menjadi bekal penting untuk menghadirkan kualitas berpikir, analisis kebijakan, serta kedewasaan politik dalam menghadapi kompleksitas persoalan bangsa.

“Ini memang kebutuhan penting kalau kita ingin negara kita sehat, dengan lahirnya tokoh-tokoh publik yang memiliki kredibilitas dalam menduduki fungsi-fungsi strategis di dalam demokrasi,” tambahnya.

Baihaki juga menyoroti kecenderungan masyarakat dalam memilih berdasarkan popularitas dan citra visual semata, yang diperparah dengan maraknya manipulasi foto melalui teknologi seperti AI.

Ia menegaskan, jika masyarakat memilih berdasarkan visual, tanpa mengenal rekam jejak calon, maka potensi kekecewaan terhadap kinerja politik akan terus berulang.

Isu mengenai latar belakang pendidikan wakil rakyat kembali mencuat setelah gelombang demonstrasi dan sorotan terhadap berbagai kebijakan DPR yang dianggap kontroversial. Di media sosial, muncul usulan agar calon anggota legislatif memiliki kualifikasi pendidikan minimal S2, bahkan S3.

Sebagian besar warganet menyambut baik usulan tersebut, karena menilai pendidikan tinggi bisa melahirkan pemimpin yang lebih kritis, solutif, dan bijak dalam membuat kebijakan.

“Menjadi anggota DPR bukan sekadar duduk di kursi parlemen. Keputusan mereka menyangkut hidup jutaan rakyat. Pendidikan tinggi bisa menjadi bekal memahami kompleksitas bangsa,” tulis akun @JokoSantoso89.

Namun demikian, ada pula yang menyoroti peran media dan sistem pemilu yang lebih menonjolkan figur populer ketimbang kualitas substansial para calon.

“Masyarakat bisa saja menyukai seseorang tanpa harus tahu kiprahnya secara nyata. Itu yang berbahaya,” tulis akun @AndiPrasetya_.

Yusril Ihza Mahendra Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan turut angkat bicara. Ia menilai fenomena banyaknya artis duduk di kursi parlemen harus menjadi perhatian dalam wacana revisi Undang-Undang Pemilu.

“Kualitas anggota dewan harus menjadi prioritas agar parlemen benar-benar mampu memperjuangkan aspirasi rakyat, bukan sekadar hiburan politik,” ujar Yusril.

Hal senada disampaikan Adi Prayitno Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI). Ia menyebut revisi UU Pemilu adalah langkah penting untuk memperbaiki kualitas keseluruhan anggota DPR, tanpa menyasar satu kelompok profesi tertentu.

“Tentu bukan hanya artis yang disasar, tapi juga kualitas anggota dewan secara keseluruhan. Karena persentase dewan yang berlatar belakang artis sedikit, mayoritas justru non-artis,” ucap Adi.

Sebagai perbandingan, Singapura kerap disebut sebagai contoh sukses di mana mayoritas anggota parlemen dan kabinet adalah lulusan S2 dan S3 dari kampus-kampus bergengsi dunia seperti Harvard, Oxford, dan MIT. Hasilnya, negara tersebut memiliki kebijakan ekonomi visioner, tata kelola pemerintahan yang solid, serta tingkat kepercayaan publik yang tinggi.

Di sisi lain, Indonesia masih menetapkan syarat minimal pendidikan anggota legislatif setara SMA. Hal ini menyebabkan tidak banyak legislator yang memiliki gelar doktor atau pendidikan lanjutan. Beberapa yang tercatat memiliki latar belakang pendidikan tinggi di antaranya Rieke Diah Pitaloka, Dedi Iskandar Batubara, Novita Wijayanti, Arzeti Bilbina, Eddy Soeparno dan Lia Istifhama.

Namun menurut para pengamat, bukan semata gelar yang menjadi ukuran, melainkan bagaimana kualitas berpikir dan integritas ditampilkan dalam kerja politik yang nyata.

Sorotan tajam terhadap wakil rakyat hari ini menandakan adanya pergeseran kesadaran politik di masyarakat. Rakyat tidak lagi puas dengan wajah-wajah populer, tetapi menuntut sosok yang kompeten, berintegritas, dan memiliki komitmen nyata terhadap kepentingan bangsa.

“Demonstrasi besar yang terjadi kemarin menjadi alarm. Rakyat tidak ingin lagi memilih karena faktor ‘like’ atau visual semata. Transparansi rekam jejak dan kualitas kerja politik harus jadi standar baru demokrasi Indonesia,” pungkas Baihaki Sirajt.(faz)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Gedung Ex-Bioskop Jalan Mayjen Sungkono

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Surabaya
Minggu, 7 September 2025
27o
Kurs