Rabu, 10 September 2025

DPR Dinilai Tidak Wakili Rakyat, DEEP Sorot Dominasi Partai Politik

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Gedung DPR RI. Foto: Antara

Desakan publik terhadap reformasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus menguat, terutama setelah demonstrasi besar pada penghujung Agustus lalu.

Masyarakat menuntut perubahan yang nyata dan berkelanjutan di DPR RI, bukan sekadar langkah-langkah reaktif yang bersifat sementara.

Mengenai hal tersebut, Neni Nurhayati Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) mengapresiasi langkah-langkah progresif DPR dalam beberapa hari terakhir dalam merespons tuntutan masyarakat, terutama yang datang dari gerakan 17+8.

“Tapi di sisi lain masih banyak yang belum ter-cover. Contohnya, soal keberlanjutan IKN, mendorong revisi UU Pemilu dan Pilkada, yang menurut saya sangat urgent saat ini. Kenapa? Karena justru ini adalah momentum yang tepat untuk membenahi sistem Pemilu dan partai politik,” terang Nani dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Rabu (10/9/2025).

Neni menjelaskan, Pemilu dan Pilkada 2024 kemarin menghasilkan banyak pejabat publik yang tidak sesuai kualifikasi, bahkan dari sisi komunikasi publik pun sangat lemah.

Menurutnya, hal itu terjadi karena proses rekrutmen partai politik tidak transparan. Banyak kader yang sudah berdarah-darah membangun partai, justru tidak mendapat rekomendasi.

“Sementara ketika ada orang yang punya elektabilitas tinggi dan didukung modal kuat, secara otomatis partai membutuhkan figur itu,” katanya.

Namun, dia melihat pemilih tidak semuanya “well informed voters“. Neni membandingkan dengan warga Jakarta yang lebih kritis dengan di daerah lain yang hanya menunggu momentum Pemilu.

“Ini yang menurut saya partai politik yang menjadi akar permasalahan, harus betul-betul dibenahi. Sebab semua berasal dari sana,” imbuhnya.

Nani tidak menampik suara-suara publik yang menyatakan DPR tidak mewakili rakyat melainkan mewakili partai politik. Dia juga mengamini dominasi partai politik membuat DPR dinilai gagal menjalankan tugas sebagai wakil rakyat.

Neni menambahkan, dari delapan partai politik yang masuk Senayan pada Pemilu 2024, akan berbahaya jika tidak ada oposisi. Dia mengutip pernyataan Lord Acton, bahwa power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.

“Ketika partai politik berpihak kepada rakyat, ketika bersuara atas nama wakil rakyat dan konsisten dalam posisi oposisi, pasti akan mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat. Tapi, sekarang kita kehilangan elemen check and balance itu. Sehingga, satu-satunya harapan ada di masyarakat sipil,” jabarnya.

Lalu, apakah DPR masih bisa direformasi agar benar-benar mewakili rakyat, bukan hanya partai?

“Saya agak pesimis kalau bicara soal ini. Karena partai politiknya saja tidak mau berbenah bagaimana dengan aggotanya. Beberapa partai memang sudah memanggil (anggotanya). Tapi, ketua umum partai politik pada hari ini juga tidak bisa menjadi teladan untuk anggotanya,” kritiknya.

Dia menyebut, perlu reformasi besar-besaran, termasuk perlu dipertimbangkan kembali mengenai sistem Pemilu, apakah tetap terbuka, tertutup, atau tertutup setengah terbuka.

“Pemilu dan Pilkada 2019 dan 2024 adalah yang paling barbar yang terselenggara sejak era reformasi. Makanya menghasilkan menghasilkan pejabat publik yang seperti itu. Selain itu perlu digenjot juga mengenai political education to the public,” tegas Nani.(saf/rid)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Gedung Ex-Bioskop Jalan Mayjen Sungkono

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Surabaya
Rabu, 10 September 2025
29o
Kurs