
Kementerian Pariwisata terus mendorong kuliner Indonesia supaya naik kelas ke panggung dunia. Salah satunya lewat peluncuran program Wonderful Indonesia Gourmet (WIG).
Program ini bukan hanya bicara soal rasa, tapi juga tentang ekosistem. Dari hulu sampai ke hilir, mulai petani, nelayan, pelaku UMKM, chef, sampai restoran, semua disatukan dalam satu gerakan besar untuk memperkuat pariwisata gastronomi Indonesia.
Melalui WIG, kuliner Indonesia didorong agar menjadi daya tarik wisata kelas dunia. Wisatawan diharapkan tidak sekadar menikmati cita rasa, tetapi juga mendapat pengalaman budaya yang autentik dan berkualitas, sehingga gastronomi bisa menjadi pintu masuk baru untuk mengenal kekayaan Indonesia.
Sebagai langkah awal, program ini akan mengkurasi restoran-restoran terbaik di Indonesia untuk mendapat promosi di pasar internasional. Peluncuran buku panduan kuliner Indonesia juga direncanakan, menjadi referensi bagi wisatawan dan pelaku industri untuk mengenali keunikan gastronomi Nusantara.
Program ini juga diharapkan memberi manfaat ekonomi yang lebih merata. Dengan melibatkan masyarakat lokal dalam rantai ekosistem kuliner peluang usaha semakin terbuka dan dapat memperkuat pariwisata berbasis komunitas.
Terkait hal tersebut, Agoes Tinus Lis Indrianto Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Ciputra Surabaya menilai WIB sebagai program dengan tujuan positif, yakni mendatangkan lebih banyak wisatawan ke Indonesia. Utamanya wisatawan asing.
“Cuma dalam hal ini yang perlu ditingkatkan adalah konsistensi dan dampaknya,” ujarnya dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Rabu (24/9/2025).
Agoes mengatakan, sebenarnya jika mau menyasar wisatawan asing, bisa melibatkan keberadaan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di luar negeri.
“Mereka akan dibuat sebagai salah satu satu outlet atau display makanan-makanan Indonesia di luar negeri. Jadi mereka harus diberi tugas pertama untuk mempromosikan makanan-makanan Indonesia di luar negeri. Itu yang perlu dilakukan,” terangnya.
Langkah berikutnya adalah melestarikan makanan-makanan lokal yang banyak di antaranya yang sudah sulit untuk ditemukan dewasa ini.
“Contohnya adalah semanggi Surabaya. Kalau ada tamu yang mau makan semanggi, masih banyak orang yang belum tahu makannya di mana. Jadi informasi mengenai keberadaan makanan khas perlu disosialisasikan lebih masif lagi,” ungkapnya.
Agoes menegaskan bahwa informasi, baik secara digital maupun offline, harus disampaikan dengan jelas. Kemudian infrastrukturnya juga harus dibangun.
Ia juga berharap program WIB tidak hanya dimanfaatkan atau dimaksimalkan oleh restoran yang sudah mapan saja. Kedai-kedai UMKM juga harus merasakan dampak positifnya.
“PR besarnya kan menyiapkan yang memang sudah punya potensi lokal. Jadi belum tentu resto besar itu dalam kutip, enaknya, masih kalah sama warung atau UMKM kita. Bisa jadi mungkin banyak UMKM yang rasanya lebih enak gitu ya,” sebutnya.
Selain itu, untuk kuliner lokal, ia juga mengingatkan mengenai pentingnya pendampingan dan pembibitan dari awal. Dua aspek ini penting disertai.
Selain itu, Agoes juga memandang bahwa program WIB ini “mendompleng” restoran-restoran yang sudah berdiri dan sudah memilini nama di luar negeri.
“Dalam hal ini kan kita nunut promosi, supaya mereka bisa membantu mempromosikan. Tapi pembinaan kuliner lokal juga harus dilakukan. Misal, orang Prancis makan nasi goreng di sana, kemudian ketika ke Indonesia, mereka ingin merasakan nasi goreng yang otentik, atau ingin merasakan rasa aslinya. Oleh sebab itu harus disiapkan UMKM-nya. Minimal standarnya harus lebih enak dari yang di sana (luar negeri). Ini konsep yang harus dipikirkan. Jangan sampai meninggalkan yang di sini (lokal),” jabarnya. (saf/ham)