
Dody Hanggodo Menteri Pekerjaan Umum (MenPU) mengatakan, hanya 50 pondok pesantren di Indonesia yang mengantongi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Sedangkan berdasarkan data Kementerian Agama, pada 2024/2025, total ponpes yang tercatat di Indonesia sebanyak 42.433.
Adapun PBG merupakan izin yang diterbitkan oleh pemerintah bagi pemilik bangunan atau perwakilannya. Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021, dokumen ini lazim dikenal dengan nama Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Dody juga mengatakan, bahwa Prabowo Subianto Presiden telah menginstruksikan kepada pihaknya untuk melakukan evaluasi total terhadap kondisi seluruh bangunan pondok pesantren yang berdiri di Tanah Air. Hal ini menindaklanjuti musibah musala ponpes Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo yang ambruk pada 29 September 2025 lalu.
Senada dengan itu, Prof. Halim Soebahar Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren dan Diniyah Jawa Timur setuju untuk adanya evaluasi bangunan di lingkungan pesantren agar musibah ini tidak terjadi lagi dan pesantren juga menyiapkan sisi keselamatan untuk para santrinya.
Namun begitu, Prof. Halim meminta pemerintah tidak langsung melakukan audit, karena Al Khoziny sedang berduka. “Pemerintah sebaiknya berikan bantuan dan layanan dulu. Baru nanti dilakukan evaluasi dan pembenahan bersama-sama,” katanya saat mengudara di program Wawasan Radio Suara Surabaya FM 100, Selasa (7/10/2025).
Prof. Halim juga mengatakan bahwa sebenarnya ada moment pemerintah hadir dalam evaluasi struktur bangunan pondok pesantren. Yaitu saat pesantren mengajukan izin operasional pendirian madrasah pada Kemenag. Namun jarang sekali pemerintah monitor struktur bangunannya.
“Karena selama 5 elemen pesantren sudah terpenuhi, maka dikeluarkan izin operasional pesantren. Sementara izin mendirikan bangunan tidak jadi fokus,” katanya.
Lima eleman yang dia maksud adalah Kiai (pendidik dan tokoh panutan), santri (peserta didik), pondok (asrama tempat tinggal santri), masjid (pusat kegiatan dan ibadah), dan pengajian kitab klasik (pembelajaran materi keagamaan).
Menurutnya, pesantren yang memiliki sekolah di dalam area lingkungannya, biasanya menerima sentuhan bantuan secara langsung. Dan jika pemerintah memberi bantuan, ada syarat yang harus dipenuhi. Dua di antaranya adalah gambar konstruksi bangunan dan anggaran operasional pendidikan.
“Kalau dalam evaluasi bantuan itu ternyata struktur bangunannya tidak memenuhi syarat, pemerintah harus hadir membantu,” katanya.
Birokrasi PBG Menjadi Keluhan
Soal PBG, Prof. Halim Soebahar yang juga Guru Besar di UIN Jember ini meminta agar Kementerian PU memeriksa lagi data pondok pesantren yang memiliki dokumen itu. Menurutnya, angka itu terlalu kecil dan harus dibedakan izin mendirikan bangunan dengan izin operasional bangunan pesantren.
Selain itu, dia menyoroti banyak pesantren yang mengeluhkan proses birokrasi atau prosedur pengurusan PBG yang cukup lama dan berbelit. Ada kalangan pesantren yang tidak telaten mengurusnya. Maka sebaiknya pemerintah mendampingi dan melakukan sosialisasi.
“Yang utama adalah sosialisasi. Semua (pesantren) yang mendapatkan bantuan baik dari pusat maupun daerah, menyertakan foto bangunan pesantrennya. Kalau itu dicermati, maka pemerintah bisa mengevaluasi dari awal,” katanya.
Prof Halim juga meminta regulasi dari izin atau persetujuan pembangunan gedung perlu disederhanakan dan lebih aplikatif. “Juga pemerintah harus mendampingi. Misalnya, (bangunan pesantren) yang sudah ada sekarang itu diapakan,” tambahnya.
Terakhir, dia meminta agar tidak ada diskriminasi terhadap pendidikan, terutama pesantren. Menurutnya, pesantren selama ini menjadi lembaga yang sering terdiskriminasi kebijakan pemerintah.
“Lihat UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Sama sekali tidak mengakomodir pesantren. Lalu di UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pesantren hanya masuk dalam satu nomenklatur saja,” katanya.
Menurutnya, musibah Al Khoziny ini menjadi pelajaran kita bersama dan semua pihak yang terlibat dalam kebijakan. (ham/faz)