
Fenomena pekerjaan sampingan atau side hustle di Indonesia semakin berkembang, dengan 8,2 persen pekerja, atau sekitar 19,3 juta orang, memiliki pekerjaan tambahan. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain, seperti Singapura (3 persen) dan Amerika Serikat (5,4 persen).
Peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) menyatakan bahwa pekerjaan sampingan banyak dipilih karena penghasilan utama yang belum mencukupi kebutuhan hidup.
Meskipun sebagian kecil pekerja memilih pekerjaan sampingan untuk menambah tabungan atau pengalaman, bagi banyak orang, pekerjaan tambahan menjadi kebutuhan agar penghasilan bulanan cukup.
Fenomena ini lebih banyak ditemukan di perkotaan, di mana biaya hidup yang lebih tinggi memaksa pekerja untuk mencari pendapatan tambahan.
Selain itu, pekerja laki-laki lebih dominan memiliki pekerjaan sampingan dibandingkan perempuan, dengan 12,9 persen pekerja laki-laki dan 4,98 persen pekerja perempuan yang memiliki pekerjaan lain.
Akhyari Hananto pemerhati industri kreatif sekaligus founder Good News From Indonesia (GNFI) menilai bahwa fenomena side hustle bukanlah sesuatu yang negatif.
“Kita perlu perlu setuju satu hal bahwa side hustle it’s not only about negative thing. Jadi ada dua sisi. Yang satu bahwa ini karena dorongan ekonomi. Tapi di satu sisi ada peluang baru,” terang Ari, sapaan akrabnya, dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Rabu (8/10/2025) siang.
Menurutnya, pekerjaan sampingan muncul tak hanya karena kebutuhan ekonomi, tetapi juga karena adanya keinginan dari anak muda untuk memiliki tabungan lebih agar bisa menjelajahi dunia, seperti jalan-jalan ke luar negeri atau sekadar ngopi.
Semua ini semakin dimungkinkan berkat perkembangan dunia digital yang memungkinkan orang untuk memperoleh multi-stream revenue atau pendapatan dari berbagai sumber.
Ia menambahkan, menurut World Economic Forum dalam laporan “The Future of Jobs”, pekerjaan konvensional di masa depan akan semakin ditinggalkan, beralih menuju pekerjaan yang lebih fleksibel dengan dunia digital. Perusahaan-perusahaan kini mulai menilai kinerja berdasarkan hasil dan fleksibilitas, bukan lagi jam kerja atau kedisiplinan.
Ke depan, menurut Ari, 70 persen pekerjaan yang kita kenal saat ini akan hilang, sementara 30 persen pekerja kantoran akan bertahan pada 2030 atau 2040. Semuanya akan bergerak menuju dua hal: bekerja dari rumah atau gig economy. Ini bukanlah tren sementara, melainkan arahan masa depan pekerjaan.
“Jadi nanti semuanya akan either kerja di rumah atau menjadi freelancer, gig economy. Jadi sebenarnya freelancer kita bisa lihat itu sebagai side hustle yang yang menurut saya bisa memberikan banyak hal dalam satu waktu. Dan dan ini sesuatu yang harus kita persiapkan,” jelas Ari.
Akhyari mengaku bahwa ia sendiri merupakan pekerja side hustle yang mampu mengerjakan hingga delapan pekerjaan dalam satu hari dari berbagai klien. Ini membuktikan bahwa pekerjaan sampingan bisa mendatangkan pendapatan yang signifikan. Ia menyebut bahwa hal ini juga terjadi di luar negeri, salah satunya di Vietnam.
Menurut Akhyari, tak ada yang salah dengan memiliki banyak pekerjaan. Dengan adanya teknologi dan waktu yang lebih fleksibel, hal itu bisa dimanfaatkan untuk menciptakan peluang baru.
“And that is something yang menurut saya enggak ada yang salah dengan itu. Justru karena kita punya waktu, kita punya teknologi, kita punya kesempatan, ada klien, ada pekerjaan pekerjaan yang bisa mendatangkan kita pengalaman, network, dan pendapatan baru, why not?” ujarnya.
Menurut Akhyari, jika sudah membahas pekerjaan masa depan, seperti side hustle dan gig economy, sudah saatnya masyarakat menyadari bahwa sistem kerja yang konvensional tidak lagi relevan. Hal ini terbukti di berbagai negara, di mana laporan dari World Economic Forum tentang masa depan pekerjaan sudah mulai terwujud.
Ia menyebut bahwa Indonesia saat ini masih berada di tahap awal dalam adopsi tren ini, dan perlu dorongan agar lebih berkembang ke arah tersebut.
“Jadi, ada satu pepatah, bahwa do what you like, do your hobby as a job. So, you will not work every single day in your life. Jadi, apa yang saya kerjaan saat ini adalah sesuatu yang saya sukai. Nah, nah sekarang tinggal lebih kepada physical health. Bagaimana mengatur waktu dan segala macam. Dan that is the challenge of course karena waktu untuk olah raga, waktu untuk jalan, untuk bergerak, lebih kurang sedikit. Tapi itu ya kita bisa pintar-pintar mengaturnya,” jabarnya.
Dengan bekerja secara fleksibel, baik dari rumah atau dalam model gig economy, ia menilai pekerja dapat menikmati kebebasan waktu dan keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik.
Begitu juga bagi perusahaan, yang bisa mendapatkan pekerja dengan keterampilan tertentu tanpa harus mengikat mereka dalam kontrak permanen. Ini dinilai sebagai sebuah win-win solution yang sangat menguntungkan di masa depan. (saf/ipg)