
Pemerintah menempatkan Rp200 triliun di bank milik negara, harapannya sederhana: kredit mengalir, ekonomi bergerak cepat. Publik bersorak, investor menajamkan telinga, headline berita ekonomi terasa meyakinkan. Lalu kita menatap angka dengan jujur. Mandiri melaporkan penyaluran sekitar 70%, BRI 65%, BNI 50%, BTN baru belasan persen. Separuh lebih sudah bergerak, separuhnya lagi menunggu. Mesin sudah dinyalakan, bensinnya masih banyak di tangki, belum banyak mengisi ruang bakar yang menggerakkan.
Masalahnya bukan jumlah uang, masalahnya ada di keberanian memakai uang. Suku bunga kebijakan BI sudah turun ke 4,75%, kualitas kredit perbankan terjaga, Non Performing Loan (NPL) sekitar 2,3%. Sisi permodalannya terbaca tebal. Semua lampu hijau untuk bergerak sudah menyala. Namun pertumbuhan kredit tahunan masih bertahan sekitar 7%. Masih jauh dari ukuran sehat dalam pertumbuhan ekonomi 5%-6% yang harusnya dalam kisaran 10%-12% pertahun.
Mungkin karena di meja rapat, dunia usaha sedang menunda ekspansi, bank masih menimbang risiko, saat pemerintah menambah bahan bakar. Ternyata di jalan raya ekonomi, masih ada yang tetap menginjak rem, dan jumlahnya tidak sedikit.
Ekonomi tidak digerakkan angka semata, ia juga digerakkan keyakinan. Ketika pengusaha percaya permintaan akan menyambut, ia berani berutang. Ketika bank percaya debitur akan membayar, ia berani menyalurkan kredit. Ketika investor percaya pemerintah konsisten, ia menanam modal jangka panjang. Uang hanya alat, kepercayaan adalah energinya. Injeksi likuiditas bisa menambah alat, tetapi tidak otomatis menambah energi.
Kita sering mengira pertumbuhan lahir dari kebijakan yang cerdas. Padahal pertumbuhan juga lahir dari koordinasi sederhana: fiskal yang jelas, moneter yang konsisten, bank yang mau mengambil risiko wajar, dan pengusaha yang mengeksekusi rencana, bukan cuma presentasi. Uang negara yang dititipkan ke bank hanyalah permulaan. Kualitas penyaluran menentukan akhir ceritanya. Jika kredit lebih nyaman parkir di konsumsi dan properti, efek gandanya menyempit. Kalau kredit masuk ke investasi, modal kerja, logistik, manufaktur, pertanian modern, efeknya memanjang. Di sini kemauan bertemu kemampuan. Kepercayaan diuji.
Investor membaca dua hal sekaligus: angka dan niat. Angka memberi kepastian minimal, niat memberi arah. Rp200 triliun adalah pesan bahwa negara ingin ekonomi bergerak lebih cepat. Namun pasar akan menilai konsistensi: apakah laporan penyaluran terbuka, apakah porsi sektor produktif jelas, apakah koordinasi fiskal dan moneter seirama. Jika jawabannya ya, optimisme menjadi modal. Jika jawabannya ragu, likuiditas menjadi headline berita, bukan pertumbuhan.
Kita juga perlu jujur pada jeda waktu. Kredit hari ini tidak langsung menjadi output besok pagi. Proyek butuh perizinan, suplai, tenaga kerja, manajemen risiko. Hasilnya mungkin baru terlihat tahun depan. Menilai kebijakan hanya dari triwulan berjalan berisiko menyesatkan. Kita bisa menyimpulkan gagal, padahal efeknya sedang bertunas di bawah tanah. Kesabaran bukan alasan untuk abai, kesabaran adalah cara untuk menilai dengan adil. Transparansi bulanan tetap wajib, audit publik tetap perlu, peta sektoral tetap harus dibuka.
Ada juga godaan klasik di setiap injeksi besar: mengejar target penyerapan tanpa memperhatikan mutu kredit. Di sinilah kedewasaan perbankan diuji. Disiplin analisis tetap dijaga, appetite risiko diperbarui, bukan diabaikan. Moral hazard dihindari, bukan disembunyikan. Dunia usaha juga perlu memastikan beberapa hal: transparansi track record, perbaikan arus kas, penguatan tata kelola. Bank bukan musuh, bank adalah mitra yang takut rugi. Tugas pengusaha adalah mengurangi rasa takut itu dengan data, dengan reputasi, dengan eksekusi yang kredibel.
Publik umum membaca dengan terjemahan yang sederhana. Uang negara sedang dipindahkan dari brankas ke pabrik. Jika alat di pabrik dipakai untuk membuat mesin baru, kita semua menikmati tenaganya. Jika alat hanya disusun rapi untuk pameran, kita hanya pulang dengan foto. Investor membutuhkan disiplin yang sama. Jangan terpikat angka besar, teliti aliran riil. Ikuti bagaimana kredit bergerak per sektor, per wilayah, per ukuran debitur. Ikuti perubahan margin bunga, ikuti data kredit yang belum dicairkan, ikuti kualitas pembayaran enam bulan ke depan. Pasar yang rasional tumbuh dari kebiasaan memeriksa, bukan dari kebiasaan bersorak saat uang digelontorkan.
Saya memilih satu kalimat untuk merangkum posisi hari ini: keuangan bergerak di angka, ekonomi bergerak di keyakinan. Pemerintah sudah menambah angka, bank sudah memegang kuncinya, dunia usaha memegang pedal gasnya, investor memegang peta arahnya. Tanpa keyakinan, kita hanya menatap panel instrumen yang indah, tetapi mobil tidak bergerak. Dengan keyakinan yang ditopang tata kelola, mobil mungkin tidak langsung melaju kencang, namun gigi akan masuk, roda akan berputar, jarak akan terpangkas.
Kita tidak perlu euforia, kita butuh fokus. Pilih proyek yang menghasilkan, pilih debitur yang disiplin, pilih pasar yang masuk akal. Tolak manipulasi angka, tolak kemasan tanpa isi, tolak kebijakan yang pintar di PowerPoint tetapi kosong di gudang. Rp200 triliun adalah amanah, bukan trofi, juga bukan bancakan. Amanah untuk mengubah uang menjadi kerja, kerja menjadi pendapatan, pendapatan menjadi kesejahteraan. Jika itu terjadi, pertumbuhan tidak lagi menjadi janji, pertumbuhan menjadi kebiasaan.
Uang bisa disalurkan, kepercayaan harus ditumbuhkan. Selama keyakinan itu belum hidup di kepala para pengambil keputusan, injeksi likuiditas akan berhenti di layar berita. Tugas kita menghidupkan kepala yang ragu, dengan data yang jernih, dengan niat yang konsisten, dengan eksekusi yang sederhana. Saat itu terjadi, dua kata akan bertemu: stimulus dan pertumbuhan. Dan ekonomi akhirnya berjalan, bukan karena didorong dari belakang, tetapi karena semua percaya untuk melangkah ke depan.
Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media
“Rp200 triliun sudah bergerak, siapa yang berani memutarnya jadi pertumbuhan?”