
Jer basuki mawa béya. Falsafah tua itu kerap diucapkan dengan nada pragmatis: semua kemakmuran ada biayanya. Tapi di usia ke-80 Jawa Timur hari ini, tafsir itu sudah waktunya diredefinisi. Béya bukan hanya ongkos finansial, melainkan pengorbanan yang berlandaskan kejujuran.
“Basuki” bukan sekadar kemakmuran material, melainkan keberlangsungan nilai dan martabat. Artinya, kesejahteraan sejati tidak lahir dari kecerdikan membelanjakan uang rakyat, tapi dari kesungguhan menegakkan keadilan, bekerja keras tanpa culas, dan menjaga kredibilitas sebagai bangsa yang tahu malu bila kehilangan nuraninya.
Delapan puluh tahun perjalanan Jawa Timur bukan sekadar rangkaian perayaan, melainkan cermin peradaban yang diuji. Di satu sisi, provinsi ini patut berbangga. Pertumbuhan ekonominya mencapai 4,93 % pada 2024. Stabil di tengah gejolak nasional dan global. Kontribusinya terhadap PDB Indonesia sekitar 15 %, menegaskan posisi Jatim sebagai satu di antara motor ekonomi negeri ini.
Kemiskinan ekstrem turun drastis hingga tinggal 0,66 % per Maret 2024, capaian yang jarang disentuh provinsi lain. Di desa-desa, geliat pemberdayaan terasa: lebih dari 3.200 desa kini berstatus mandiri, terbanyak di Indonesia. Pada saat yang sama, birokrasi provinsi ini mencatatkan skor reformasi 93,82 dengan predikat A-, membuktikan ada upaya serius menuju pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Dan di atas semua itu, Jawa Timur tetap menjadi jangkar moral kebangsaan. Rumah bagi moderasi Islam, tempat para kiai dan cendekia menjaga akal sehat di tengah polarisasi bangsa.
Namun di balik catatan baik itu, ada ruang yang masih gelap, daerah-daerah yang belum menikmati terang dari kemajuan. Di bidang ekonomi, angka kemiskinan memang menurun, tapi jumlah orang miskin justru tertinggi di Indonesia: 3,8 juta jiwa. Empat kabupaten di Madura masih hidup dalam lingkaran keterisolasian: Sampang dengan kemiskinan 21,7 %, Bangkalan 19,3 %, Sumenep 18,7 %, dan Pamekasan 14,3 %. Infrastruktur dasar di sana belum bertransformasi menjadi keadilan ekonomi.
Di sisi lain, provinsi ini masih kehilangan energi besar akibat lemahnya efektivitas anggaran. Rata-rata Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) mencapai 13,17 % per tahun. Uang yang seharusnya menjadi pembangunan, tapi mengendap di rekening pemerintah. Anggaran besar, tapi keberanian mengeksekusinya kecil. Politik anggaran masih lebih sibuk menjaga posisi daripada melayani publik.
Dalam pendidikan, angka partisipasi tinggi belum sebanding dengan kualitas hasil. Belanja pendidikan mencapai Rp8,3 triliun pada 2025, tetapi link and match dengan industri baru hidup di kota-kota besar. Di daerah, sekolah masih bergulat dengan fasilitas minim dan guru yang bekerja dengan dedikasi tanpa pelatihan memadai.
Aries Agung Paewai Kepala Dinas Pendidikan pernah mengingatkan, tantangan terbesar bukan sekadar membuka sekolah baru, melainkan memastikan setiap anak dididik untuk berpikir, bukan sekadar lulus. Sayangnya, setiap tahun masyarakat masih mendengar kisah pungutan liar dalam PPDB, pungli dalam seragam, atau “sumbangan sukarela” yang memaksa. Ombudsman menegur, pungli pendidikan adalah pengkhianatan terhadap janji sekolah gratis. Dan ketika pendidikan kehilangan integritas, bangsa kehilangan masa depannya.
Dari sisi ekologi, alam Jawa Timur memberi peringatan keras. Indeks lingkungan mungkin tertinggi di Pulau Jawa, tapi kenyataan lapangan menunjukkan krisis yang serius. Ketersediaan air bersih hanya cukup untuk 15 juta dari total 40 juta penduduk.
Lebih dari 200 hektare hutan hilang setiap tahun. Dalam 4 bulan pertama 2025 saja, 161 bencana banjir dan longsor tercatat, menewaskan 25 orang dan merusak ribuan rumah.
Sungai Brantas, nadi air provinsi ini, dalam catatan Ecoton, kini menanggung 1,5 juta popok sekali pakai setiap hari dan 90 persen ikan di dalamnya terkontaminasi mikroplastik.
Di Pasuruan dan Mojokerto, industri membuang limbah tanpa pengolahan. Walhi Jatim mencatat, di Gresik dan Bojonegoro, warga menghirup udara bercampur debu semen dan abu pembakaran. Sementara moratorium tambang masih sebatas wacana, dan penegakan hukum lingkungan lebih sering berhenti di meja negosiasi. Jawa Timur mungkin tumbuh, tapi sebagian tumbuh di atas alam yang perlahan mati.
Semua itu menunjukkan bahwa tantangan terbesar Jawa Timur bukan sekadar membangun jalan baru, tetapi memperbaiki jalan pikir dan jalan hati dalam memimpin.
Di tengah capaian dan luka, di antara grafik pertumbuhan dan suara rakyat kecil, Jawa Timur sedang diuji untuk menentukan jenis kemakmuran yang ingin diwariskan. Apakah kemakmuran yang diperoleh dengan kompromi moral, atau kemakmuran yang lahir dari kerja keras yang jujur?
Delapan puluh tahun perjalanan ini seharusnya menjadi momentum untuk mengingat kembali makna “jer basuki mawa béya.” Bahwa setiap kemajuan sejati menuntut pengorbanan, bukan pengorbanan orang lain, melainkan pengorbanan diri.
Butuh keberanian untuk jujur, kesediaan untuk tidak mengambil jalan pintas yang melukai moral dan keadilan, dan kebijaksanaan untuk menunda kepentingan demi kebaikan bersama. Jawa Timur tidak kekurangan uang, tidak kekurangan ide, tapi sering kekurangan keikhlasan menanggung beban moral pembangunan. Dan mungkin, itulah “béya” paling mahal yang harus dibayar sebuah peradaban.
Jika provinsi ini ingin benar-benar “basuki”, maka ongkosnya adalah integritas. Setiap pejabat yang bekerja tanpa suap dan pungli, setiap guru yang mengajar dengan hati, setiap warga yang menolak jalan pintas dan curang, semua adalah pembayar pajak moral bagi masa depan Jawa Timur.
Karena di akhir perjalanan panjang ini, kemakmuran sejati bukan tentang gedung tinggi atau angka APBD, melainkan tentang apakah kita masih bisa menatap cermin dan berkata dengan jujur: kita tumbuh tanpa mengkhianati nurani.
Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media
“Jer basuki mawa béya” — ongkosnya kini adalah kejujuran.”