
Hampir 80 persen penduduk termiskin dunia, atau sekitar 900 juta orang, kini hidup dalam paparan langsung terhadap bahaya iklim yang diperparah oleh pemanasan global.
Menurut laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyoroti bahaya iklim dan dirilis, Jumat (10/10/2025), kondisi ini menciptakan beban ganda yang “sangat tidak adil” bagi masyarakat miskin di seluruh dunia.
“Tidak ada satu pun dari kita yang benar-benar kebal terhadap dampak perubahan iklim yang makin sering dan ekstrem seperti kekeringan, banjir, gelombang panas, dan polusi udara. Namun, yang paling terpukul adalah masyarakat termiskin,” kata Haoliang Xu, Penjabat Administrator Program Pembangunan PBB (UNDP), seperti dilansir Medical Daily, Sabtu (18/10/2025).
Xu menegaskan, Konferensi Iklim PBB (COP30) yang akan digelar di Brasil pada November mendatang menjadi momentum penting bagi para pemimpin dunia untuk memandang aksi iklim sebagai bagian dari upaya memerangi kemiskinan.
Laporan tahunan yang disusun UNDP bersama Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI) menyebutkan, sebanyak 1,1 miliar orang atau sekitar 18 persen dari 6,3 miliar populasi di 109 negara masih hidup dalam “kemiskinan multidimensi akut”.
Indikator kemiskinan tersebut meliputi angka kematian bayi, akses terhadap perumahan, sanitasi, listrik, dan pendidikan. Separuh dari jumlah itu adalah anak-anak.
Dua wilayah yang paling terdampak oleh kemiskinan ekstrem sekaligus paling rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah Afrika Sub-Sahara dan Asia Selatan. Laporan itu menyoroti kaitan erat antara kemiskinan dan paparan empat risiko lingkungan utama: panas ekstrem, kekeringan, banjir, dan polusi udara.
“Rumah tangga miskin sangat rentan terhadap guncangan iklim karena banyak di antara mereka bergantung pada sektor-sektor yang rawan seperti pertanian dan tenaga kerja informal,” tulis laporan tersebut.
“Ketika bahaya ini tumpang tindih atau terjadi berulang kali, dampaknya memperparah kesenjangan yang sudah ada.”
Secara global, sekitar 887 juta orang atau hampir 79 persen dari kelompok miskin dunia terpapar langsung setidaknya satu risiko lingkungan. Dari jumlah itu, 608 juta orang mengalami panas ekstrem, 577 juta terdampak polusi udara, 465 juta terdampak banjir, dan 207 juta menghadapi kekeringan.
Sebanyak 651 juta orang menghadapi dua risiko sekaligus, 309 juta orang terpapar tiga hingga empat risiko, dan sekitar 11 juta orang telah mengalami keempat bahaya tersebut hanya dalam satu tahun.
“Kemiskinan dan bahaya iklim yang terjadi secara bersamaan jelas merupakan masalah global,” tulis laporan tersebut.
Peningkatan frekuensi bencana iklim ekstrem juga mengancam kemajuan pembangunan global. Meski Asia Selatan telah mencatat kemajuan dalam menekan angka kemiskinan, wilayah itu tetap menjadi salah satu yang paling rentan karena 99,1 persen penduduk miskinnya terpapar setidaknya satu bahaya iklim.
“Wilayah ini harus kembali menapaki jalan baru yang menyeimbangkan antara upaya pengentasan kemiskinan dengan aksi iklim yang inovatif,” lanjut laporan itu.
Dengan suhu bumi yang terus meningkat, para ahli memperingatkan bahwa negara-negara termiskin akan menjadi pihak yang paling menderita akibat naiknya temperatur global.
“Menanggapi risiko yang saling tumpang tindih ini membutuhkan prioritas pada manusia dan planet, serta yang terpenting, bergerak dari pengakuan menuju aksi nyata dan cepat,” tutup laporan PBB tersebut. (bil/faz)