Selasa, 21 Oktober 2025

Setahun Prabowo-Gibran, Akademisi Unair Mencatat Ada Berbagai Problem di Sektor Kesehatan

Laporan oleh Wildan Pratama
Bagikan
Prabowo Subianto calon Presiden Terpilih memberikan keterangan di Gedung KPU RI, Jakarta Pusat, Rabu (24/4/2024). Foto: Farid suarasurabaya.net

Roda pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka Presiden dan Wakil Presiden RI sudah berjalan selama satu tahun. Sejumlah prorgam kerja telah dijalankan, sebagian menunjukkan kemajuan. Tapi, ada yang perlu penyempurnaan seperti program kerja di bidang kesehatan.

Dokter Ari Baskoro Pengajar Senior Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kesehatan Universitas Airlangga menilai,
pelantikan Benjamin Paulus Octavianus sebagai Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) baru Kabinet Merah-Putih (KMP) memicu spekulasi.

Menurutnya, pengangkatan Wamenkes baru menjadi sebuah paradoks di tengah isu efisiensi dan pengurangan dana transfer ke daerah (TKD).

“Di tengah isu efisiensi terkait keterbatasan fiskal, ditunjuknya Benjamin Paulus Octavianus memperlihatkan semakin gemuknya KMP. Bertambahnya anggaran operasional kementerian/pusat, menjadi paradoks dengan isu pengurangan dana TKD,” ucap Ari Baskoro dalam keterangannya, Senin (20/10/2025).

Namun, Ari Baskoro menyebut pelantikan Wamenkes baru bukan tanpa alasan. Dia menilai Presiden memberi tugas khusus untuk mengakselerasi dan mensukseskan program makan bergizi gratis (MBG) dan eliminasi tuberkulosis (TB) pada tahun 2030. Dua program ini merupakan ambisi dan misi besar Asta Cita KMP.

“Ada relevansi timbal balik di antara kedua program itu. Mitigasi TB bukan persoalan sederhana. Malah bisa dibilang pelik dan melelahkan. Hubungannya erat dengan rendahnya tingkat pendidikan dan pengentasan kemiskinan. Sekitar 65 persen pengidapnya, beririsan dengan problem kemiskinan. Dampaknya, memantik masalah kurang gizi, intoleransi obat, komplikasi, dan fatalitas. Umumnya mereka menghuni rumah tidak layak, dengan sistem ventilasi yang buruk,” jelasnya.

Dalam catatannya, Ari Baskoro menemukan permasalahan dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Mulai dari eksekusi kebijakan yang tidak didukung prosedur standar operasional yang mapan dan tidak ada transparansi dalam realisasinya.

Di awal berjalannya program MBG, Ari Baskoro menyebut Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) yang membuat menu MBG tidak dilengkapi dengan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) dan sertifikat halal. Menurutnya ada kesan uji coba dalam program ini.

“Seolah diselimuti tabir yang tidak mudah diakses publik. Payung hukumnya tidak dipersiapkan sejak awal. Kesan trial and error pun sulit terbantahkan. SPPG bekerja ibarat mengemudikan kendaraan, tanpa dibekali SIM dan etika berkendara,” tuturnya.

Akademisi Unair itu juga menyorot pola kebijakan Badan Gizi Nasional (BGN) selaku lembaga yang mengoordinir MBG. Menurutnya, alur kebijakan top-down, instruksional, khas militer tanpa melibatkan pihak sekolah dan penerima manfaat hanya memicu masalah di lapangan.

“Mereka hanya diinstruksikan menerima dan menyukseskannya. Padahal jika terjadi masalah di lapangan, merekalah yang ketiban awu anget. Ringkasnya, tanpa konsep penataan yang matang dan terprogram secara sistematis, MBG rawan masalah,” katanya.

Contoh permasalahan MBG di lapangan yaitu terjadinya keracunan massal yang dialami ribuan siswa di berbagai daerah. Ari Baskoro menilai, dampak persoalan ini akan mengikis kepercayaan publik terhadap program MBG.

“Misalnya berulangnya kejadian keracunan pangan yang belum bisa dipastikan kapan berakhirnya. Akibatnya, kepercayaan publik berpotensi terkikis. Beberapa koalisi warga, kini ramai-ramai menolaknya. Lembaga Bantuan Hukum Surabaya juga menerima ratusan aduan dari beberapa daerah di Jatim,” ungkapnya.

Di lain sisi, upaya eliminasi penyakit TB masih terus digencarkan Pemerintah. Saat ini Indonesia menempati peringkat insiden TB kedua di dunia setelah India. Banyak tantangan yang harus dihadapi pemerintah untuk mengeleminasinya.

Ari Baskoro menyebut, faktor peredaran rokok ilegal berpotensi meningkatkan prevalensi TB. Rokok dan TB, memantik kolaborasi buruk yang sulit diurai.

“Pengidap TB umumnya enggan terbuka soal kondisi kesehatannya. Biasanya mereka mengalami stigma dan diskriminasi, jika diketahui mengidap TB oleh masyarakat sekitarnya,” paparnya.

Selain itu, kepatuhan mengonsumsi obat secara reguler, sering terkendala. Hal itu berakibat memantik munculnya TB resistan obat (TB-RO) yang semakin menambah kompleksitas mitigasinya.

Ari Baskoro menambahkan, hingga saat ini belum tersedia vaksin TB yang efektif. Daya proteksi BCG sebagai satu-satunya vaksin TB, sangat terbatas. Hanya bisa mencegah seorang anak, agar tidak jatuh dalam kondisi yang parah.

Dia berharap pengembangan vaksin M72/ASO1E yang sedang dilakukan pemerintah bisa menjandi solusi mengeleminiasi TB.

“Setelah remaja dan dewasa, daya proteksinya menjadi pupus. Padahal justru mereka sebagai sumber penularan, bila terpapar TB. Pengembangan vaksin M72/ASO1E, diharapkan mampu memberi solusi. Diproyeksikan mulai digunakan pada akhir tahun 2028. Nantinya diindikasikan pada usia 15-44 tahun,” katanya.

Selain itu, ada fenomena lain yang menjadi tantangan mengeleminasi TB. Ari Baskoro mengatakan hal itu dipicu oleh pengingkatan tren kasus HIV/AIDS di Indonesia. Hingga Juni 2025, sedikitnya tercatat 564.000 orang dengan HIV (ODHIV).

Celakanya, baru 63 persen saja yang mengetahui statusnya. Sisanya tidak terdeteksi, hingga akhirnya memasuki fase AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Kondisi itu bisa memicu tingkat risiko terpapar TB pada orang dengan HIV/AIDS.

“Tingkat risiko terpapar TB pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA), melonjak hingga 20-30 kali lipat. Kondisi itulah penyebab mortalitas utama ODHA,” ungkapnya.

Kemudian, sejak 20 Januari 2025, USAID (Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat) telah membekukan pendanaan pemberantasan TB di Indonesia. Khususnya dukungan teknis percepatan penanggulangan TB dan ketersediaan peralatan tes cepat molekuler (TCM).

Faktor itu, kata Ari Baskoro, mendorong Pemerintah Indonesia supaya lebih mandiri dalam upaya mengeleminasi TB pada 2030.

“Termasuk juga bantuan obat-obatan anti TB dan HIV. Dengan dibekukannya dana hibah USAID, Indonesia ditantang bisa lebih mandiri,” pungkasnya.(wld/rid)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Gedung Ex-Bioskop Jalan Mayjen Sungkono

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Surabaya
Selasa, 21 Oktober 2025
27o
Kurs