
Kejadian apes menimpa Hidayat Septa Kesuma Ketua Koperasi Bina Sukses Jejama yang ada di Desa Sukawangi, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung.
Dia menjadi korban penipuan kejahatan siber phishing. Pelakunya berpura-pura sebagai petugas kantor pajak. Akibatnya, uang sebanyak Rp13 juta dari tabungannya ludes dicuri.
“Awalnya saya menerima e-mail dan pesan WhatsApp pada tanggal 19 Oktober 2025 terkait status pajak koperasi yang saya pimpin. Selang sehari, tanggal 20 Oktober saya menerima telp WA dari nomor 082363916486. Awalnya saya yakin yang menghubungi adalah petugas pajak karena yang mengaku petugas pajak tersebut bisa menyebutkan semua identitas koperasi dan identitas pribadi ketua koperasi dengan tepat,” ujarnya kepada suarasurabaya.net, Selasa (21/10/2025).
Kemudian, pelaku berdalih akan memandu penonaktifan pajak dari koperasi yang usahanya sudah tidak aktif lewat sambungan telepon.
“Saya diminta install aplikasi yang dikirim via WhatsApp dan install aplikasi yang tertera M PAJAK, saya ikuti semua perintahnya,” ungkapnya.
Selama membuka aplikasi M PAJAK, Septa mengaku handphone-nya tidak bisa membuka aplikasi lain, dan hanya berlatar M PAJAK serta bingkai wajahnya.
“Saya diminta untuk verifikasi wajah sebanyak kurang lebih 7 kali dan sampai pada permintaan pengganti uang meterai online yang harus saya tanda tangani,” sebutnya.
Setelah telepon selesai, Septa bilang handphone miliknya seperti error selama kurang lebih dua menit. Lalu, begitu kembali normal, secara bersamaan banyak notifikasi yang masuk ke handphone dari aplikasi fintech, dan aplikasi m-banking.
“Dari situ saya baru sadar jika saya terkena penipuan. Orang yang mengaku petugas pajak ternyata melakukan pencairan pinjaman di SPayLater, GO-PAY Pinjaman dan menguras saldo BSI saya. Total kerugian saya sekitar Rp13,3 juta,” tegasnya.
Atas kejadian itu, Septa melaporkan ke Polres Pringsewu, dan Indonesia Anti-Scam Center.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap ada 10 jenis modus scam atau penipuan keuangan yang paling banyak terjadi. Mulai dari penipuan transaksi belanja online sampai dari aplikasi yang dikirim via WhatsApp.
Friderica Widyasari Dewi Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, menjelaskan, penipuan transaksi belanja online modusnya adalah korban membeli barang melalui media daring. Tapi, barangnya tidak pernah dikirim atau penjual menghilang setelah menerima pembayaran.
Sepanjang periode pelaporan, November 2024 sampai 15 Oktober 2025, terdapat 53.928 kasus dengan total kerugian mencapai Rp988 miliar dan rata-rata kerugian per korban sekitar Rp 18,33 juta.
“Penipuan transaksi belanja online ini paling banyak karena orang itu sebenarnya punya sifat greedy, kalau dibilang ada beli merk bagus dengan harga yang miring. Kok iya percaya gitu loh, kalau benar dia jual harga miring gitu, dia saja beli sendiri kan, dijual sendiri sama dia, enggak perlu nawar-nawarin kita,” ujarnya dalam media gathering, di Purwokerto, Jawa Tengah, Sabtu (18/10/2025).
Lalu yang kedua, penipuan yang mengaku sebagai pihak lain atau fake call. Dari 31.299 laporan yang diterima, kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp1,31 triliun, dengan rata-rata kerugian Rp 42,04 juta per korban.
Selanjutnya, penipuan investasi menjadi salah satu modus yang banyak terjadi. Kasus itu tercatat sebanyak 19.850 laporan dengan nilai kerugian mencapai Rp1,09 triliun dan rata-rata kerugian tertinggi yaitu Rp 55,21 juta per korban.
Modus berikutnya penipuan penawaran kerja. Terdapat 18.220 laporan penipuan dengan total kerugian Rp656 miliar, dan rata-rata kerugian Rp 36,05 juta.
Penipuan hadiah atau undian palsu juga masih sering menjerat masyarakat. Tercatat 15.470 laporan untuk modus itu dengan kerugian Rp189 miliar dan rata-rata kerugian sekitar Rp12 juta per korban.
Berikutnya, penipuan melalui media sosial menjadi salah satu tren baru di dunia digital. Dari 14.229 laporan yang masuk, kerugian yang tercatat mencapai Rp491 miliar dengan rata-rata kerugian sekitar Rp34,64 juta per korban.
Modus lainnya adalah phishing. Sebanyak 13.386 laporan diterima OJK dengan total kerugian Rp507 miliar dan kerugian rata-rata Rp 37,92 juta per korban.
Social Engineering juga banyak terjadi. Tercatat 9.436 laporan dengan total kerugian Rp361 miliar, dan rata-rata kerugian sekitar Rp38,33 juta per korban.
Selain itu, ada modus pinjaman online fiktif dengan 4.793 laporan yang mengakibatkan kerugian Rp40 miliar dan rata-rata kerugian R p8,48 juta per korban. Terakhir adalah modus APK palsu yang mencatat 3.684 laporan dengan kerugian Rp134 miliar atau rata-rata kerugian Rp36,37 juta per kasus.(rid)