Rabu, 29 Oktober 2025

Jawa Timur Lumbung Pangan Nasional: Sinergi Lintas Sektor Mewujudkan Kedaulatan Pangan

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Ahmad Riza Muzammil Kepala Bidang Pembibitan, Pakan dan Produksi Peternakan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur bersama Sumrambah Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Provinsi Jawa Timur ketika mengudara di Radio Suara Surabaya, Selasa (28/10/2025). Foto: M. Irfan Azhari Mg suarasurabaya.net

Dalam peringatan Hari Jadi ke-80 Provinsi Jawa Timur, momentum ini menjadi ajang refleksi bagi berbagai capaian dan tantangan pembangunan daerah, terutama dalam sektor pangan. Jawa Timur selama ini dikenal sebagai salah satu lumbung pangan nasional yang menopang ketahanan pangan Indonesia.

Provinsi ini memberikan kontribusi besar melalui sektor pertanian, peternakan, dan perikanan, sehingga menjadi tulang punggung kebutuhan pangan nasional.

Namun, di tengah perubahan iklim yang semakin ekstrem, fluktuasi harga pasar global, dan masalah regenerasi petani, keberlanjutan produksi pangan membutuhkan sinergi lintas sektor.

Pemerintah, petani, nelayan, akademisi, dan pelaku industri dituntut bekerja sama untuk menjaga ketahanan pangan, sekaligus memastikan kesejahteraan para penggiat sektor ini.

Ahmad Riza Muzammil Kepala Bidang Pembibitan, Pakan, dan Produksi Peternakan Dinas Peternakan Jatim, menegaskan posisi Jawa Timur sebagai penopang utama pangan nasional, khususnya protein hewani.

Menurut Ahmad Riza, kontribusi Jawa Timur terhadap sapi potong nasional sangat signifikan. Dari 11 juta ekor sapi potong di Indonesia, lebih dari 3 juta berada di Jawa Timur atau sekitar 30 persen.

Populasi sapi perah juga mencolok, dari total 485.000 ekor di tingkat nasional, sebanyak 292.000 ekor atau lebih dari 60 persen berada di Jawa Timur.

“Untuk susu yang dihasilkan dari sapi perah, Jawa Timur support hampir 60 persen. Jadi sapi perah ini kalau Jatim tidak produksi ya nasional tidak bisa mengkonsumsi susu,” terang Ahmad Riza dalam talk show “Merawat Bumi Majapahit” di Radio Suara Surabaya, Selasa (28/10/2025) sore.

Ia menambahkan bahwa populasi sapi perah ini sebagian besar berada di dataran tinggi seperti Pasuruan, Malang, Jombang, Batu, Lumajang, dan Jember.

“Untuk sapi perah, agroklimat memegang peranan penting. Sapi perah membutuhkan kondisi iklim tertentu agar produktivitasnya optimal, seperti suhu yang stabil dan curah hujan yang sesuai,” jelas Ahmad Riza.

Sementara itu, di dataran rendah, seperti beberapa wilayah di Pasuruan dan Mojokerto, sapi perah tetap dipelihara, meski produktivitasnya lebih rendah.

Selain sapi, Jawa Timur juga menjadi penopang utama kambing nasional. Dari 15 juta kambing di Indonesia, sekitar 5 juta atau 30 persen berada di provinsi ini, menempati posisi kedua setelah Jawa Tengah. Untuk domba, Jawa Timur berada di posisi ketiga atau keempat, dengan 600 ribu ekor dari total nasional 9 juta ekor.

Tidak hanya itu, Jawa Timur juga menjadi barometer nasional untuk produksi ayam ras petelur. Dari 414 juta ayam petelur di Indonesia, 132 juta ekor atau sekitar 33 persen berada di Jawa Timur. Sentra produksi utama tersebar di Blitar, Tulungagung, dan Kediri.

“Kalau Jawa Timur terganggu dalam produksi ayam petelur, harga telur di tingkat nasional langsung terdampak,” ujarnya.

Telur ayam juga menjadi salah satu penyumbang inflasi pangan karena kebutuhan yang tinggi dan harga yang mudah berfluktuasi.

Ayam broiler atau ayam potong juga menempati posisi penting. Dari total 3 miliar ayam broiler nasional, sekitar 400 juta atau 15 persen berada di Jawa Timur.

Secara keseluruhan, provinsi ini menyuplai hampir 20 persen kebutuhan daging nasional, 32 persen kebutuhan telur, dan hampir 60 persen kebutuhan susu dari sapi perah.

Meski produksi pangan Jawa Timur sangat besar, tantangan terbesar justru datang dari regenerasi petani. Sumrambah Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Provinsi Jawa Timur, menyoroti fenomena penuaan petani. “Dari hasil survei BPS, petani di bawah usia 30 tahun hanya 2,71 persen. Sedangkan usia di atas 43 tahun mencapai 75 persen,” ujarnya.

Selain regenerasi, tingkat pendidikan petani menjadi tantangan lain. Ia menyebut sebanyak 75 persen petani hanya berpendidikan sekolah dasar.

“Ini menyulitkan transfer teknologi pertanian yang semakin modern,” kata Sumrambah.

Ia menambahkan bahwa sektor peternakan lebih diminati anak muda karena relatif lebih menguntungkan dan menarik, sedangkan pertanian pangan dianggap pilihan terakhir. Banyak anak muda enggan menjadi petani karena stigma sosial dan rendahnya daya tarik ekonomi. (saf/faz)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Perpaduan Hujan dan Macet di Jalan Ahmad Yani

Kebakaran Gedung Ex-Bioskop Jalan Mayjen Sungkono

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Surabaya
Rabu, 29 Oktober 2025
26o
Kurs