FAR (14 tahun) warga Tegalsari, Surabaya melapor ke polisi usai menjadi korban bullying hingga babak belur oleh temannya sesama santri di salah satu pondok pesantren di Lamongan.
FAR mengaku di-bully oleh R teman kamar sebayanya sejak dua bulan setelah masuk, atau sekitar September 2024. FAR mengaku diejek, diambil barang-barang miliknya, hingga puncaknya dianiaya pada 7 Oktober 2025 lalu.
Saat itu FAR menanyai R mengenai alasannya sering mengambil barang miliknya. Hal itu dilakukan pascamenemukan bajunya di jemuran R. Namun ketika FAR berjalan ke lemari, R langsung menantang, hingga korban emosi dan memukul sekali terduga pelaku. Namun kemudian dibalas berkali-kali hingga korban tidak berdaya lalu lebam di bagian kepala, mata, dan tangan terkilir.
“(Saya balik arah dan mukul karena) mereka bilang (saya) tidak berani apa-apa,” ucapnya di Surabaya, Selasa (4/11/2025).
Kejadian perundungan terus-menerus itu membuatnya trauma menempuh pendidikan di pondok pesantren. Sekarang terhitung tiga hari ia pindah sekolah di salah satu SMP Islam di Surabaya.
“Tidak ingin kembali lagi,” paparnya.
Selain melaporkan kasus ini ke polisi, yakni Polres Lamongan, ia berharap pihak pondok pesantren mengeluarkan terduga pelaku R juga satu lagi yang menendang inisial A.
WN (32 tahun) ibu korban menyebut, sudah mengetahui bullying sejak tahun lalu. Namun karena ia percaya pada pengelolaan pondok pesantren, FAR tetap menempuh pendidikan di sana, karena terduga pelaku pernah berjanji tidak akan mengulangi.
Saat kejadian 7 Oktober lalu, dia baru dikabari korban keesokan harinya. Berdasarkan cerita korban, ia tak diberi izin menelepon orang tua, diminta menunggu hingga luka lebamnya pulih.
“Tahunya saya itu dikabari anak saya dari tanggal 8. Ditelepon. Bunda saya minta pulang soalnya saya ini sakit panas. Enggak berani ngomong anak saya juga,” ungkapnya.
Begitu tiba di ponpes, WN kaget mendapati wajah babak belur anaknya, lalu ia minta keterangan dari pengurus pondok.
“Ini siapa yang melakukan? Tolong dijelaskan. Dipanggillah anak itu. Masih satu waktu itu (terduga pelakunya). Saya kan belum tahu CCTV-nya ya. Saya kira itu satu kali tonjokan gitu. Saya enggak tahu kalau banyak banget pukulan itu,” bebernya lagi.
Namun, saat meminta terduga pelaku dikeluarkan, ponpes menolak dengan alasan, pelanggaran itu masih tergolong ringan, belum kategori berat.
“Padahal sudah banyak korban dari 2024. Ada yang dipukul dadanya, ada yang ditendang-tendang kepalanya, badannya sama si R ini. Banyak itu orang tuanya itu di grup wali santri itu ngomong semua ya R ini. Cuma ibunya (R) klarifikasi di grup ini tidak ada masalah dengan anak saya,” ceritanya.
Dia berharap pondok pesantren bersikap adil, memberi sanksi ke terduga pelaku yang hingga kini tidak ada inisiatif meminta maaf.
“Kalau saya dengan pihak pondok ya saya hanya kecewa. Kenapa kok sampai seperti ini, tidak ada ketegasan,” tegasnya.
Namun ia menegaskan tidak menuntut ponpes, hanya akan meneruskan proses hukum untuk terduga pelaku.
“Saya mengucapkan terima kasih selama ini sudah membimbing anak kami. Semoga ilmu anak saya ini berkah, manfaat untuk guru-guru staf yang sudah baik. Saya sama sekali tidak ada untuk membesar-besarkan cuma saya hanya berurusan dengan pelaku saja gitu. Soalnya saya juga tidak pernah menuntut banyak. Kalau anak saya bisa seperti ini saya juga yang tidak ada masalah dengan pihak pondok itu,” tutupnya.
Diketahui, kasus ini sudah dilaporkan ke polisi, dan telah diterima Polres Lamongan dengan nomor laporan Nomer STTLP/B/313/ VIII/2025/SPKT POLRES LAMONGAN POLDA JAWA TIMUR. (lta/saf/ipg)
NOW ON AIR SSFM 100
