Rintik gerimis terus mengguyur kawasan Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang hingga Jumat (21/11/2025) petang. Hawan dingin mulai menusuk tulang parang pengungsi yang masih bertahan di SDN IV Supiturang.
Saat suarasurabaya.net mengunjungi sekolah yang menjadi lokasi pengungsian itu, nampak puluhan warga sedang istirahat di dalam kelas beralaskan tikar seadanya.
Namun di antara mereka yang sedang beristirahat, ada Paimin (50 tahun) seorang petani lombok duduk menyendiri di bangku depan kelas dengan wajah lesu.
Pria 50 tahun itu sedang mengingat seisi Dusun Sumbersari luluh lantak disapu awan panas Semeru. Ladangnya hancur, rumahnya rusak. Paimin yang menggantungkan hidupnya sebagai petani hanya bisa berpasrah.
“Habis, rumahnya habis, apalagi barang. Baju saja cuma bawa ini, enggak punya lagi. Cuma sama songkok ini saja,” ujarnya saat ditemui Jumat malam.
Lamunan Paimin mengingat ganasnya Semeru mulai memudar saat ia mulai menceritakan detik-detik hancurnya dusun Sumbersari pada Rabu (19/11/2025) sore.
Paimin mengutarakan, suasana sejuk di Sumbersari sore itu sekejap berubah tegang saat Gunung Semeru mulai memuntahkan awan panas guguran (APG) dari puncak.
“Saya sedang duduk-duduk (di teras rumah), lepas itu ada itu gunung meletus, keluar asap. Mula-mula kecil, lepas itu sudah besar,” katanya.
Ratusan warga Dusun Sumbersari pun mulai berlarian mengikuti jalur evakuasi. Paimin bersama keluarganya langsung menancap gas motor membelah keriuhan menuju pengungsian SDN IV Supiuturang.
Aliran lahar Semeru dilaporkan mengarah ke Dusun Sumbersari. Bagi Paimin, peristiwa ini belum pernah terjadi sebab dusunnya bukan aliran lahar Semeru.
“Lepas itu (awan panas) mau dekat Sumbersari. itu saya lari ke sini ke ke SD Supiturang ini,” jelasnya.
Awan panas Semeru tak terbendung, menyapu bersih Dusun Sumbersari dan memorak-porandakan isinya. Hingga Jumat (21/11) petang kemarin, sisa keganasan Semeru masih berserakan di dusun tersebut berupa material dan bebatuan yang nampak mengeluarkan asap.
Peristiwa Rabu (19/11) sore itu masih diingat jelas oleh Paimin. AGP yang menyapu bersih dusunnya, membuat pria 55 tahun itu masih takut melihat kondisi rumahnya.
“Belum (melihat rumah) karena takut, kan panas itu. Belum balik (sejak Rabu), takut,” ungkapnya.
Petani lombok itu kini hanya bisa berpasrah. Harinya-harinya ke depan masih akan dihabiskan di pengungsian. Tidur beralaskan terpal dan bersahabat dengan hawa dingin Lumajang.
Mata pencahariannya juga sudah hilang. Uluran bantuan pemerintah untuk memulihkan ladangnya jadi satu-satunya jalan.
“Enggak ada harapan lagi kan?. Mau makan susah. Sawah enggak ada, semua enggak ada kan. Kalau enggak dibantu pemerintah apa yang mau dimakan,” ucapnya.(wld/iss)
NOW ON AIR SSFM 100
