
“Generasi Z dan Alpha akan menghadapi dunia yang tidak hanya berubah cepat, tapi juga sulit dipahami oleh akal manusia,” tulis Yuval Noah Harari dalam “21 Lessons for the 21st Century”.
Kalimat itu terasa seperti cermin bagi anak-anak kita hari ini, generasi yang tumbuh di antara algoritma dan kecemasan, di mana setiap keputusan kecil terasa seperti taruhan masa depan.
Sebagai orang tua dari anak usia Gen Z dan Alpha, saya sering memandang mereka dengan rasa kagum dan cemas sekaligus. Kagum karena daya tangkap dan keberanian mereka luar biasa. Cemas karena jalan di depan mereka jauh lebih kabur daripada jalan yang pernah kita tempuh. Mereka hidup di zaman ketika gelar tak melulu jadi jaminan pekerjaan, dan keahlian yang dipelajari hari ini bisa usang hanya dalam hitungan bulan.
Indonesia sebenarnya sedang berada dalam masa terbaiknya secara demografi. Tapi angka-angka ekonomi memberi kita kenyataan yang lebih rumit. Dari seluruh usia produktif, hanya sekitar 2% yang tercatat menganggur. Namun di balik itu, 6 dari 10 bekerja tanpa kontrak, tanpa jaminan, tanpa kepastian karier. Mereka ada di sektor informal. Rata-rata upah nasional hanya Rp3,09 juta per bulan, sementara pendapatan per kapita nasional sudah Rp6,55 juta. Artinya, setengah dari nilai yang mereka hasilkan tidak kembali ke mereka. Pertumbuhan ekonomi terjadi, tapi belum berpihak penuh pada tangan yang menggerakkannya.
Saya melihat ini bukan sekadar data, tapi sebagai wajah masa depan anak-anak kita. Dunia kerja yang mereka hadapi nanti tidak lagi menilai seberapa lama mereka sekolah, melainkan seberapa cepat mereka belajar ulang. Mereka tidak sedang bersiap masuk ke dunia industri, tapi ke dunia ide. Dunia di mana kecerdasan bukan hanya soal logika, tapi juga empati, keberanian, dan kemampuan menafsir perubahan.
Anak-anak kita mungkin akan bekerja di bidang yang belum ada hari ini. Mungkin mereka akan menjadi pengelola komunitas digital, desainer empati buatan, atau penafsir etika bagi kecerdasan mesin. Tidak ada buku teks yang bisa mempersiapkan mereka sepenuhnya. Yang bisa kita berikan hanyalah fondasi: kemampuan berpikir kritis, rasa ingin tahu yang tak padam, dan keberanian untuk salah.
Sebagai orang tua, saya belajar menahan diri untuk tidak menuntun mereka pada jalan yang saya kenal, karena mungkin jalan itu sudah tak lagi relevan. Yang lebih penting sekarang adalah menemani mereka membangun kompasnya sendiri. Dunia masa depan bukan tentang memilih jurusan, tapi tentang memahami diri dan menemukan irisan antara minat dan kebutuhan zaman.
Mungkin nanti mereka akan jatuh, bingung, bahkan merasa tersesat. Tapi bukankah semua generasi besar lahir dari ketidakpastian? Yang membedakan mereka yang berhasil bukanlah kepastian arah, tapi kekuatan langkah.
Dan di situlah harapan saya untuk generasi Z dan Alpha: semoga mereka tumbuh bukan sebagai pengikut arus, tapi sebagai pembaca zaman. Anak-anak yang tidak cengeng di hadapan tantangan, tapi cukup lembut untuk tetap manusiawi. Anak-anak yang tidak hanya ingin sukses, tapi ingin berguna. Karena dunia masa depan, betapapun canggihnya, tetap membutuhkan manusia yang tahu makna dari menjadi manusia.
Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya
“Mereka lahir di zaman tanpa peta, tapi punya kompas di dalam dada.”