Hingga hari ini, aparat Australia masih menangani dampak penembakan massal di kawasan Pantai Bondi, Sydney, yang terjadi pada Minggu malam, 14 Desember 2025, saat perayaan Hanukkah komunitas Yahudi bertajuk Chanukah by the Sea. Insiden ini menewaskan belasan orang dan melukai puluhan lainnya, sebagian di antaranya anak-anak dan keluarga yang hadir sebagai warga sipil. Kepolisian New South Wales menetapkan kejadian tersebut sebagai aksi terorisme, dengan penyelidikan yang melibatkan aparat negara bagian, kepolisian federal, serta intelijen Australia.
Pemerintah Australia secara resmi menyatakan bahwa penembakan di Bondi merupakan serangan yang menargetkan komunitas Yahudi dalam konteks perayaan keagamaan. Anthony Albanese Perdana Menteri menegaskan, tindakan tersebut adalah terorisme dan bentuk antisemitisme yang tidak dapat ditoleransi, seraya menyampaikan bahwa warga Yahudi di Australia tidak boleh menanggung akibat dari konflik mana pun di luar wilayah negara itu. Chris Minns Premier New South Wales menambahkan, insiden ini adalah serangan terhadap nilai-nilai dasar Australia, bukan semata terhadap satu komunitas. Kepolisian menegaskan bahwa hingga kini motif ideologis personal pelaku belum diumumkan secara final, dan publik diminta menahan spekulasi sambil menunggu hasil penyelidikan resmi.
Peristiwa itu, jujur, menyeret saya kembali pada “Catatan Pemred” yang pernah saya tulis pada 4 Oktober 2025, berjudul “Spektrum Pemikiran Intelektual Israel: Dari Genosida hingga Rasionalisasi Kekerasan.” Tulisan itu memetakan satu hal yang sering luput dari perdebatan publik, yakni bagaimana kekerasan negara tidak hanya bekerja lewat rudal dan peluru artileri, tetapi juga lewat argumen, bahasa, dan legitimasi. Di satu kutub, Amos Goldberg, sejarawan Holocaust dari Hebrew University, menulis esai “Yes, it is genocide” yang menegaskan kesimpulannya bahwa apa yang terjadi di Gaza layak disebut genosida. Raz Segal menyebutnya sebagai “a textbook case of genocide”, sementara Goldberg bersama Daniel Blatman menegaskan bahwa Gaza bukan Auschwitz, tetapi pola penghancurannya tetap memenuhi ciri genosida.
Namun tulisan itu juga mengakui adanya kutub lain, rasionalisasi kekerasan sebagai kebutuhan eksistensial negara. Dalam berbagai diskursus publik, termasuk yang dilaporkan media investigatif, garis antara kombatan dan warga sipil dikaburkan, dan penghancuran kolektif diperlakukan sebagai keniscayaan strategis. Di titik inilah kekerasan tidak lagi sekadar tindakan militer, tetapi menjadi cara berpikir yang dinormalisasi.
Di antara dua kutub tersebut, Yuval Noah Harari memberi peringatan yang kini terasa semakin relevan, tentang kehancuran legitimasi jangka panjang. Harari mengingatkan bahwa sebuah bangsa mungkin bisa bertahan secara militer, bahkan memenangkan perang, tetapi tetap dapat kehilangan masa depan moralnya. Tragedi di Pantai Bondi memperlihatkan bagaimana peringatan itu melampaui batas geografi. Ketika kekerasan negara dinormalisasi, ia tidak berhenti di medan konflik. Ia merembes ke imajinasi global, menanam kebencian lintas generasi dan lintas benua, lalu meledak di ruang-ruang sipil yang seharusnya netral, ruang perayaan, ruang ibadah, ruang keluarga.
Tapi kejernihan berpikir menuntut kita untuk tidak jatuh pada simplifikasi berlebih yang berbahaya. Menghentikan spiral kekerasan tidak berarti mendelegitimasi perjuangan melawan ketidakadilan di Gaza. Sebaliknya, perjuangan yang sah justru kehilangan daya moralnya ketika ia membiarkan kebencian kolektif dan kekerasan terhadap warga sipil, siapa pun identitasnya. Kritik terhadap kebijakan negara, solidaritas terhadap penderitaan rakyat Palestina, dan penolakan tegas terhadap teror yang menyasar warga Yahudi di diaspora bukanlah posisi yang saling meniadakan. Ketiganya adalah satu kesatuan etika kemanusiaan.
Di tengah tata kelola peradaban dunia yang semakin kompleks, memelihara momentum perjuangan dalam bingkai perdamaian menjadi pilihan paling rasional hari ini. Selalu ada jalan selama dialog peradaban tetap dibuka. Dan dialog hanya mungkin jika kita memilih diksi yang tepat, nada yang sejuk, tanpa kehilangan ketegasan moral. Keberanian melawan ketidakadilan tetap diperlukan, tetapi kebijaksanaanlah yang memastikan keberanian itu tidak berubah menjadi bahan bakar bagi lingkaran kekerasan yang tak berujung.
Eddy Prastyo
Editor in Chief
Suara Surabaya Media
“Ketika ingatan pembantaian dipakai untuk membenarkan pembantaian lain.”







