Kamis, 4 September 2025

Narasi, Amarah, dan Kerusuhan : Belajar dari Politik Atensi

Laporan oleh Eddy Prastyo
Bagikan
Foto Ilustrasi

Kerusuhan yang pecah setelah meninggalnya Affan, pengemudi ojek online yang terlindas kendaraan taktis di Pejompongan, menjadi cermin telanjang bagaimana politik dan ekonomi atensi bekerja dalam tubuh masyarakat kita. Sebuah video berdurasi pendek yang viral di media sosial, diperbanyak oleh akun-akun yang haus engagement, sudah cukup untuk mengubah duka menjadi amarah. Lalu amarah menjadi kerusuhan dan pengrusakan.

Fakta memang menjadi titik mula, tetapi narasi yang membumbui fakta itulah yang menyulut ledakan emosi. Di tangan influencer, buzzer, atau sekadar akun anonim, rekaman itu bukan lagi sekadar dokumentasi, melainkan bahan bakar politik atensi yang diarahkan untuk menggiring opini, menekan institusi, bahkan menciptakan delegitimasi.

Sejarah sebenarnya sudah mengajarkan pola ini. Kekuasaan Roma menjaga stabilitas dengan “bread and circuses”, mengalihkan atensi rakyat dengan spektakel.

Di abad ke-19, pers kuning Amerika mengompori Perang Spanyol dengan judul sensasional yang kemudian disesali sendiri oleh jurnalisnya. Di abad ke-20, propaganda radio Nazi dengan cerdik menguasai pikiran massa, tetapi akhirnya runtuh ketika berhadapan dengan realitas perang dan kehancuran ekonomi.

Kini, media sosial hanya mempercepat siklus yang sama: klik, bagikan, ledakan massa. Bedanya, kalau dulu butuh mesin cetak atau jaringan radio nasional, kini cukup sebuah gawai dan algoritma yang memperbesar apa yang paling memicu emosi.

Di tengah arus inilah muncul tesis Timothy Ronald dan Ferry Irwandi yang belakangan ramai dikutip. Mereka menyatakan uang hanyalah level awal permainan, sementara atensi adalah rajanya; atensi lebih langka daripada uang; siapa menguasai narasi, menguasai dunia.

Bahkan atensi dianggap zero-sum, artinya waktu yang dipakai orang untuk menonton A adalah kekalahan bagi B. Ada pula klaim futuristik bahwa teknologi akan membuat makanan dan pakaian nyaris gratis dalam 50 tahun, sehingga nilai ekonomi berpindah penuh ke atensi.

Sekilas, argumen itu tampak tajam. Herbert Simon sejak 1971 sudah menulis tentang “Poverty of Attention” dalam dunia yang kebanjiran informasi. Fakta empiris juga mendukung: belanja iklan digital global mencapai 616 miliar dolar pada 2023, dengan Facebook, Google, dan TikTok meraup keuntungan besar karena mampu memonopoli atensi.

Kasus Affan juga menunjukkan bagaimana atensi yang terkonsentrasi dapat melahirkan dampak politik instan. Namun di sinilah letak bahayanya.

Tesis Timothy dan Ferry jatuh pada determinisme atensi yang terlalu simplistik. Atensi memang langka, tetapi tidak otomatis menjadi nilai tertinggi. Atensi bisa dibeli dengan skandal, hoaks, atau clickbait, tetapi nilainya cepat menguap.

Yang membuat atensi bertahan bukan intensitas sesaat, melainkan kepercayaan yang menambatkannya pada reputasi, integritas, dan otoritas moral.

Sejarah membuktikan hal ini berulang kali. Pers kuning Amerika memang meraih oplah besar, tetapi kehilangan legitimasi sehingga melahirkan jurnalisme investigasi yang lebih beretika.

Propaganda Orde Baru bisa bertahan tiga dekade, tetapi runtuh ketika krisis ekonomi membuat publik mencari kebenaran di luar narasi resmi.

Era clickbait media daring di 2010-an menghasilkan trafik fantastis, tetapi juga mempercepat erosi kepercayaan publik pada media arus utama. Dengan kata lain, rezim atensi yang tidak menanam trust akan selalu berakhir sebagai noise sementara.

Justru di sinilah jurnalisme menemukan relevansinya. Fungsi jurnalisme bukan ikut menjadi pedagang atensi yang mengobral emosi, tetapi menjadi penjaga ruang publik yang sehat: memverifikasi fakta, memberi konteks, dan mengajak refleksi.

Dalam kerusuhan Affan, peran media seharusnya bukan sekadar menyiarkan kemarahan, tetapi juga membongkar bagaimana narasi viral diproduksi, siapa yang mengedarkan, dan apa konsekuensinya bagi masyarakat. Dengan cara itu, atensi yang liar bisa ditambatkan pada kepercayaan.

Maka kritik saya terhadap tesis Timothy dan Ferry sederhana: mereka benar membaca gejala, tetapi keliru menawarkan resep. Atensi memang raja, tetapi tanpa kerajaan bernama kepercayaan, ia hanyalah boneka sesaat.

Narasi memang bisa diciptakan, tetapi tanpa verifikasi realitas, ia akan runtuh oleh kenyataan. Zero-sum atensi memang ada, tetapi ekosistem jurnalisme bisa mengubahnya menjadi kolaboratif. Dari berita ke diskusi, dari diskusi ke aksi sosial.

Kerusuhan Affan memperingatkan kita semua bahwa atensi yang dilepaskan tanpa kendali bisa membakar. Jalan keluarnya bukan menghindari atensi, melainkan mengolahnya dengan kejujuran.

Jurnalisme yang berbasis kepercayaan adalah satu-satunya cara agar energi publik tidak berhenti pada kemarahan, tetapi berubah menjadi kesadaran dan solusi. Karena pada akhirnya, sejarah membuktikan: atensi adalah kilatan, tapi kepercayaan adalah nyala yang bertahan.

Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media

“Atensi itu kilatan, kepercayaan adalah nyala yang bertahan.”

Berita Terkait

HITAM

Kepercayaan 90,9%: Realitas atau Ilusi?

Sinyal Merah dari Jakarta

Ketika Rasa dan Ide Diseduh Bersama Kopi


Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Gedung Ex-Bioskop Jalan Mayjen Sungkono

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Surabaya
Kamis, 4 September 2025
28o
Kurs