Senin, 8 September 2025

Patriot Bond: Gotong Royong dalam Wajah Baru Nasionalisme

Laporan oleh Eddy Prastyo
Bagikan
Foto: Ilustrasi

Di penghujung Agustus 2025, sebuah istilah baru muncul di ruang publik kita: “Patriot Bond”. Nama yang sederhana tapi sarat makna. Danantara, sovereign wealth fund yang baru saja lahir lewat PP No. 10 Tahun 2025, mengumumkan akan menerbitkan obligasi ini pada Oktober mendatang.

Angka yang ditargetkan cukup besar, Rp50 triliun, dibagi dalam dua seri bertenor lima dan tujuh tahun. Tapi yang lebih besar dari angka itu adalah simbolismenya: sebuah ajakan agar para pemilik modal ikut serta membiayai masa depan bangsa, meski dengan imbal hasil jauh di bawah pasar.

Secara legal, Patriot Bond jelas berbeda dengan Surat Utang Negara (SUN). Ia bukan instrumen fiskal yang ditopang APBN, melainkan obligasi korporasi yang diterbitkan Danantara dan diawasi OJK. Negara tidak memberi jaminan eksplisit, tetapi reputasi pemerintah tentu ikut dipertaruhkan. Di titik ini, Danantara sedang mencoba cara baru: membangun jembatan fiskal tanpa menambah beban anggaran negara.

Kalau kita menoleh ke sejarah, ini bukan kali pertama republik menggalang dana dengan bendera patriotisme. Tahun 1946, hanya setahun setelah merdeka, pemerintah mengeluarkan Pinjaman Nasional berdasarkan UU No. 4/1946. Rakyat, yang waktu itu hidup dalam situasi perang, membeli obligasi untuk membiayai republik muda.

Bedanya, dulu yang disasar adalah rakyat kebanyakan, kini yang diminta bergotong royong adalah kelas pemilik modal besar. Semangatnya sama: nasionalisme diterjemahkan dalam bentuk kontrak finansial.

Alasan peluncurannya pun tak sulit dipahami. Ruang fiskal kita makin sempit, defisit dibatasi undang-undang, sementara kebutuhan investasi untuk energi terbarukan, pengelolaan sampah, hingga penciptaan lapangan kerja terus membesar.

Jepang dan Amerika pernah melakukan hal serupa: menerbitkan obligasi patriotik untuk menggalang partisipasi warga kaya dalam masa krisis. Kini giliran Indonesia mencoba jalannya sendiri.

Suara-suara dukungan datang dari berbagai penjuru. Rosan Roeslani CEO Danantara sekaligus Menteri Investasi/Kepala BKPM, mengakui para taipan besar sudah menunjukkan minat. “Iya, mereka berminat. Semua ikut berpartisipasi kok,” ujarnya, seraya menyebut Grup Barito dan Grup Djarum termasuk yang siap masuk.

Pandu Patria Sjahrir Chief Investment Officer (CIO) Danantara yang juga Komisaris Bursa Efek Indonesia, menekankan bahwa Patriot Bond bukan paksaan, melainkan ajakan gotong royong yang lazim dilakukan di banyak negara.

Dari kalangan konglomerat, dukungan terdengar. Prajogo Pangestu pendiri dan Chairman Grup Barito Pacific, menyebut pembangunan adalah tanggung jawab semua pihak, dan Patriot Bond memberi kesempatan dunia usaha untuk berkontribusi melalui tata kelola yang baik. Franky Oesman Widjaja Chairman & CEO Sinar Mas Agribusiness & Food sekaligus CEO Golden Agri-Resources Ltd, menekankan manfaat gandanya: ada kepastian investasi sekaligus akselerasi pertumbuhan inklusif. Garibaldi “Boy” Thohir Presiden Direktur PT Adaro Energy Indonesia Tbk, bicara tentang semangat gotong royong yang konkret, karena dana ini akan dipakai membiayai proyek waste-to-energy yang sangat dibutuhkan masyarakat.

Tentu kritik pun muncul. Ada yang menyebut kupon 2% terlalu rendah, nyaris mirip “amal wajib” ketimbang instrumen investasi. Wijayanto Samirin ekonom Universitas Paramadina, mengingatkan jangan sampai ada kesan keterlibatan pengusaha besar hanyalah karena tekanan politik. Doddy Ariefianto ekonom dan dosen Binus University, menekankan bahwa Patriot Bond wajib mematuhi regulasi pasar modal, harus ada prospektus transparan dan pelaporan jelas kepada OJK.

Namun di titik ini, justru diperlukan transparansi dan tata kelola yang ketat. Seperti diingatkan Pandu Sjahrir, kuncinya ada pada prospektus yang jelas, audit rutin, dan laporan terbuka. Dengan begitu, skeptisisme dapat ditutup dan kepercayaan dapat tumbuh.

Patriot Bond pada akhirnya bukan sekadar instrumen fiskal. Ia adalah ajang ujian kebersamaan kita. Di atas kertas, ia bernilai Rp50 triliun. Tetapi di balik itu, ia menyimpan nilai lain yang jauh lebih besar: bahwa nasionalisme hari ini bisa menemukan wajahnya dalam lembar obligasi.

Bahwa gotong royong tidak berhenti di lumbung padi atau kerja bakti, melainkan bisa hadir di meja rapat direksi dan portofolio investasi. Dan bagi para pengusaha yang memilih menaruh uangnya di Patriot Bond, itu bukan sekadar keputusan finansial. Itu adalah pernyataan cinta pada Indonesia.

Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media

“Obligasi Patriotik, Keberanian Kolektif.”

Berita Terkait

HITAM

Kepercayaan 90,9%: Realitas atau Ilusi?

Sinyal Merah dari Jakarta


Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Gedung Ex-Bioskop Jalan Mayjen Sungkono

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Surabaya
Senin, 8 September 2025
26o
Kurs