Selasa, 9 September 2025

Pertumbuhan dan Rasa Adil di Era Menteri Keuangan Baru

Laporan oleh Eddy Prastyo
Bagikan
Prabowo Subianto Presiden RI melantik Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan di Istana Negara, Jakarta, Senin (8/9/2025). Foto: Antara

Pergantian Menteri Keuangan selalu membawa harapan baru. Ketika Purbaya Yudhi Sadewa menggantikan Sri Mulyani Indrawati, publik langsung bertanya: ke mana arah ekonomi kita akan dibawa? Pertanyaan itu wajar, sebab di pundak Menkeu ada beban berat: memastikan uang negara cukup untuk membiayai program besar, menjaga stabilitas keuangan, sekaligus menjawab kegelisahan sosial yang sempat meledak dalam demonstrasi.

Salah satu pernyataan awal Purbaya yang banyak dikutip adalah soal pajak. Ia mengatakan Indonesia tidak perlu menambah pajak baru untuk saat ini, cukup dengan memperbaiki kepatuhan pajak yang sudah ada.

Di balik kalimat singkat ini, ada pola pikir yang menarik. Artinya, penerimaan negara diharapkan naik bukan dari pungutan baru, tetapi dari ekonomi yang tumbuh lebih cepat dan masyarakat yang makin patuh membayar pajak. Logikanya sederhana: jika usaha berkembang dan orang punya penghasilan lebih tinggi, penerimaan negara akan naik juga. Bagi pembaca awam, ini ibarat memilih memperbesar “kue ekonomi” dulu, baru membagi hasilnya, daripada memperkecil potongan kue yang ada dengan pungutan tambahan.

Hal lain yang ia sampaikan adalah target pertumbuhan ekonomi tinggi. Presiden Prabowo meminta angka 8 persen, namun Purbaya menilai perlu dicapai bertahap: 6 persen dulu, lalu 7, baru 8.

Dengan cara berpikir ini, fokusnya adalah mengubah perlambatan ekonomi menjadi percepatan. Target tinggi memang memberi semangat, tapi tantangan juga besar. Untuk pembaca awam, membayangkan angka 8 persen bisa dilihat begini: selama 20 tahun terakhir, Indonesia rata-rata tumbuh 5 persen. Melompat ke 8 persen berarti menambah jutaan lapangan kerja baru dan mendorong industri lebih cepat. Pertanyaannya, apakah APBN cukup kuat untuk menopang percepatan sebesar itu tanpa membuat utang menumpuk?

Dalam soal gejolak sosial, Purbaya menilai pertumbuhan ekonomi bisa meredakan protes. Ia menyebut, kalau ekonomi tumbuh 6–7 persen, orang akan sibuk bekerja dan kebutuhan hidupnya lebih tercukupi.

Ini cara pandang yang menaruh harapan pada pertumbuhan sebagai obat utama. Namun, kita juga perlu mengingat data. Selama dua dekade terakhir, pertumbuhan rata-rata 5 persen ternyata belum cukup menghapus ketimpangan.

Rasio gini, indikator sederhana kesenjangan, masih berkisar di angka 0,38–0,40. Artinya, pertumbuhan saja tidak otomatis membagi manfaat secara merata. Maka, pertumbuhan perlu ditemani kebijakan yang lebih langsung menyasar kelompok bawah: subsidi yang tepat, perlindungan sosial, serta pajak yang lebih progresif bagi yang mampu.

Dari sisi defisit dan utang, pemerintah kini menargetkan APBN tanpa defisit pada 2027–2028. Tantangannya jelas: defisit 2025 diperkirakan 2,9 persen PDB, sementara bunga utang makin menekan ruang belanja.

Dalam bahasa sederhana, negara sedang berusaha menutup lubang pengeluaran dengan pemasukan yang lebih kecil, sambil tetap menambah program baru. Jika defisit mau ditekan, maka pilihannya dua: menambah penerimaan atau mengurangi belanja. Karena pajak baru ditunda, penerimaan hanya bisa naik lewat pertumbuhan ekonomi. Itu sebabnya target pertumbuhan tinggi dianggap krusial.

Metodologi catatan ini saya susun dengan bantuan AI untuk menelusuri, mengumpulkan, dan mengelompokkan sumber-sumber kredibel seperti CNN Indonesia, CNBC Indonesia, Kompas, dan Reuters. Data dan pernyataan dipilah, lalu saya rangkai menjadi narasi yang lebih utuh. Tujuannya bukan memberi label hitam-putih pada menteri baru, tetapi membaca kecenderungan cara berpikir yang sedang dibangun: mengandalkan pertumbuhan sebagai kunci, sambil menjaga stabilitas fiskal, dan masih mencari bentuk konkret dalam menjawab tuntutan keadilan sosial.

Di penutup, refleksi ini penting. Indonesia pernah hidup di era ekonomi tumbuh cepat dengan keyakinan bahwa hasilnya akan menetes ke bawah. Sejarah mencatat, di Orde Baru keyakinan itu tidak sepenuhnya terbukti.

Pertumbuhan tinggi di masa lalu sering meninggalkan jurang ketimpangan. Karena itu, pelajaran bagi kita semua termasuk bagi Menteri Keuangan baru adalah jangan lagi mengulang pola lama. Pertumbuhan memang penting, tetapi harus dibarengi keberpihakan nyata pada publik. Angka 6 atau 7 persen tidak ada artinya bila rasa adil tidak ikut tumbuh bersama.

Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media

“Pertumbuhan boleh tinggi, tapi hanya berarti bila rasa adil ikut tumbuh bersama.”

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Gedung Ex-Bioskop Jalan Mayjen Sungkono

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Surabaya
Selasa, 9 September 2025
25o
Kurs