Kamis, 21 Agustus 2025

Relaksasi PBB: Perban di Luka yang Lebih Dalam

Laporan oleh Eddy Prastyo
Bagikan
Ilustrasi Relaksasi Pajak Bumi dan Bangunan.

Instruksi Gubernur Jawa Timur agar kabupaten dan kota melakukan relaksasi kenaikan PBB memang memberi sedikit kelegaan. Masyarakat merasa ada perhatian, ada jeda, ada sinyal bahwa keresahan mereka didengar.

Tetapi harus diakui, kebijakan ini belum menyentuh akar masalah. Relaksasi hanyalah perban. Luka yang lebih dalam tetap menganga: keadilan fiskal yang belum dirasakan, rasa percaya yang belum pulih.

Masyarakat selama ini diminta patuh, menyesuaikan diri dengan setiap kebijakan fiskal, sementara di sisi lain mereka masih melihat gaya hidup birokrasi yang boros.

Mobil dinas, perjalanan seremonial, proyek-proyek yang tidak langsung menyentuh kebutuhan dasar tetap berjalan. Dalam suasana batin seperti ini, setiap pungutan terasa sebagai beban, bukan sebagai gotong royong.

Pajak sejatinya adalah bahasa kepercayaan. Warga rela membayar kalau melihat uang itu kembali dalam bentuk pelayanan nyata. Jalan yang layak, sekolah yang bisa diakses, puskesmas yang melayani dengan baik.

Tanpa itu, relaksasi tarif hanya akan terbaca sebagai langkah kosmetik. Sejenak reda, tapi tidak mengubah persepsi mendasar bahwa negara lebih pandai mengambil daripada memberi.

Khofifah menekankan filosofi gotong royong. Tetapi gotong royong sejati berarti ada keberpihakan. Mereka yang lemah diberi ruang bernapas, mereka yang kuat diminta menanggung lebih. Mekanisme keringanan pajak harus sederhana dan mudah diakses, bukan birokratis dan melelahkan.

Sementara pemilik aset besar tidak boleh berlindung di balik relaksasi yang sama, mereka justru yang harus paling konsisten berkontribusi.

Relaksasi juga tidak boleh berdiri sendiri. Ia harus dihubungkan dengan arah pembangunan jangka panjang. Publik perlu tahu bahwa uang yang dipungut benar-benar kembali ke mereka: pendidikan, kesehatan, lingkungan, infrastruktur yang berguna.

Tanpa keterhubungan itu, pajak akan terus dipersepsi sebagai instrumen kering, tanpa makna sosial.

Di atas semua itu, yang paling mendesak adalah empati fiskal. Pemerintah daerah perlu menunjukkan sikap menahan diri, mengurangi pengeluaran yang tidak mendesak, menunda proyek seremonial, menurunkan standar kemewahan birokrasi, dan memperbesar anggaran untuk berkomunikasi yang bermakna.

Hanya dengan cara itu publik bisa percaya bahwa mereka dan pemerintah berjalan bersama, sama-sama berhemat, sama-sama berjuang di tengah kondisi sulit.

Relaksasi PBB memang langkah penting, tetapi tidak cukup. Jika pemerintah tidak berani memperbaiki struktur fiskal, membuka transparansi, dan menghadirkan rasa adil, maka kebijakan ini hanya akan menjadi perban tipis di luka yang dalam. Luka yang cepat atau lambat akan kembali terasa perih, jika kepercayaan tidak segera dipulihkan.

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Kamis, 21 Agustus 2025
27o
Kurs