Sabtu, 27 Desember 2025

Sidoarjo Bicara dari Luka Sehari-hari : Catatan untuk 2026

Laporan oleh Eddy Prastyo
Bagikan

Ada satu keyakinan yang sejak lama dipegang Suara Surabaya. Bahwa media bukan sekadar pengeras suara kekuasaan, juga bukan papan pengumuman kebijakan. Media yang hidup adalah media yang berfungsi sebagai simpul. Tempat suara warga berkelindan, diuji, lalu diolah menjadi makna bersama. Dalam peran itulah Suara Surabaya Media berdiri sebagai hub komunikasi publik yang progresif, membuka ruang agar pengalaman hidup warga tidak menguap sebagai keluhan, tetapi hadir sebagai pengetahuan sosial.

Ruang question box yang kami buka untuk warga Kabupaten Sidoarjo berangkat dari kesadaran itu. Pada 25 Desember 2025, redaksi Suara Surabaya membuka question box melalui Instagram Story selama 24 jam penuh. Tanpa desain survei yang kaku. Tanpa asumsi awal tentang apa yang harus dijawab. Warga kami biarkan berbicara dengan caranya sendiri. Dalam rentang waktu itu, 145 masukan warga masuk ke redaksi, seluruhnya berbentuk narasi bebas tentang apa yang mereka alami, rasakan, dan harapkan.

Yang kami terima bukan hanya deretan masalah teknis, melainkan fragmen-fragmen kehidupan. Tentang jalan yang rusak setiap dilewati. Tentang air yang kembali menggenang setelah hujan reda. Tentang kemacetan yang terasa sepele di peta, tetapi melelahkan dalam rutinitas. Dalam keterbatasan waktu 24 jam itu, suara yang muncul justru memperlihatkan satu hal penting, bahwa problem yang sama terus berulang dan hidup dalam ingatan kolektif warga.

Redaksi membaca seluruh masukan itu dengan jarak yang cukup dekat. Bukan sekadar mencatat apa yang rusak, tetapi mencoba memahami apa yang dirasakan. Dari sana muncul satu benang merah yang kuat. Warga Sidoarjo sedang tidak sekadar mengeluh. Mereka sedang menyampaikan kelelahan yang akumulatif. Masalah yang datang bukan sekali dua kali, tetapi berulang, dengan wajah yang hampir sama. Itulah yang membentuk suara batin publik, rasa jenuh yang pelan-pelan mengikis rasa percaya.

Atas dasar itu, redaksi memilih melakukan pembacaan yang lebih sistematis. Bukan untuk mengklaim mewakili seluruh warga Sidoarjo, melainkan untuk memahami pola. Data ini kami perlakukan sebagai suara warga yang memilih bicara. Bukan statistik populasi, tetapi cermin pengalaman. Seluruh 145 masukan dibaca satu per satu, lalu dikelompokkan ke dalam tema-tema masalah. Satu suara bisa memuat lebih dari satu isu, karena realitas hidup memang jarang sederhana. Setelah itu dilakukan penghitungan sederhana untuk melihat isu mana yang paling sering muncul, sembari tetap membaca bahasa dan nadanya secara kualitatif.

Hasil pembacaan menunjukkan bahwa persoalan banjir, drainase, dan sungai menempati posisi paling dominan. Dari setiap 10 suara warga yang masuk, sekitar 4 di antaranya menyebut soal air yang tak kunjung tuntas. Secara ilustratif, jika sebuah ruang rapat diisi sepuluh warga Sidoarjo, hampir setengahnya akan membuka percakapan dengan cerita yang serupa, hujan turun, air naik, lalu surut perlahan, hanya untuk kembali di kesempatan berikutnya. Banjir dalam narasi ini bukan lagi peristiwa luar biasa, melainkan rutinitas yang melelahkan.

Di bawahnya, persoalan jalan rusak dan kualitas infrastruktur muncul dalam hampir sepertiga masukan warga. Angka ini menggambarkan bahwa dalam setiap perjalanan singkat di Sidoarjo, peluang bertemu jalan bermasalah terasa terlalu akrab. Seolah dari 3 orang yang bercerita tentang kesehariannya, 1 orang selalu menyelipkan kisah tentang aspal yang berlubang, tambalan yang cepat terkelupas, atau risiko jatuh yang harus diwaspadai setiap pagi. Jalan, bagi warga, bukan sekadar jalur, melainkan penentu rasa aman dan martabat ruang publik.

Masalah lalu lintas dan transportasi muncul dengan intensitas yang lebih kecil secara angka, sekitar satu dari enam suara warga, tetapi kuat secara emosi. Ini adalah cerita tentang waktu yang hilang. Tentang jarak dekat yang terasa jauh. Tentang energi yang habis bahkan sebelum pekerjaan dimulai. Secara kuantitatif mungkin tidak mendominasi, tetapi secara psikologis dampaknya panjang karena dialami setiap hari.

Persoalan lain seperti penerangan jalan, fasilitas umum, sampah, air bersih, dan pelayanan publik memang tidak mendominasi secara jumlah. Namun kehadirannya konsisten sebagai latar yang menyertai keluhan utama. Seperti bunyi dengung yang tidak keras, tetapi terus ada. Dalam banyak komentar, isu-isu ini muncul sebagai penguat rasa tidak nyaman, terutama di lingkungan permukiman dan pada jam-jam malam.

Menariknya, lebih dari seperempat dari 145 warga yang menyampaikan masukan menuliskan lebih dari 1 masalah dalam satu narasi. Ini memberi isyarat penting. Bagi warga, persoalan tidak pernah berdiri sendiri. Drainase yang buruk mempercepat kerusakan jalan. Jalan rusak memperparah kemacetan. Kemacetan memperpanjang waktu dan mengikis kesabaran. Angka-angka ini bukan sekadar distribusi tema, melainkan gambaran bagaimana masalah dirasakan sebagai satu rangkaian pengalaman yang saling mengunci.

Dari keseluruhan pembacaan itu, suara batin publik yang paling terasa adalah kelelahan struktural. Bukan kemarahan yang meledak, tetapi kejenuhan yang menetap. Warga tidak sedang menuntut wilayah yang sempurna. Mereka menuntut kepastian bahwa masalah yang sama tidak terus kembali seperti lingkaran yang tak putus.

Bagi Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, masukan ini layak dibaca sebagai peta kelelahan sekaligus peluang. Bukan sekadar daftar pekerjaan rumah, tetapi sinyal bahwa pendekatan parsial tidak lagi memadai. Banjir, jalan, dan lalu lintas perlu diperlakukan sebagai satu sistem pelayanan. Warga tidak menuntut janji besar. Mereka menunggu kerja yang selesai dan tidak perlu diulang dengan keluhan yang sama di tahun berikutnya. Transparansi progres dan konsistensi penanganan akan jauh lebih bermakna dibanding respons cepat yang bersifat tambal.

Bagi warga, ruang ini menunjukkan bahwa suara mereka memiliki bobot. Masukan yang detail dan spesifik bukan sekadar keluhan, tetapi pengetahuan lapangan yang berharga. Ketika ruang kolaborasi dibuka secara sehat dan adil, warga dapat menjadi bagian dari solusi, bukan hanya penonton yang menunggu perubahan.

Catatan ini bukan vonis, apalagi penghakiman. Ia adalah ajakan untuk mendengar dengan lebih jujur. Sidoarjo sedang berbicara dari luka-luka kecil dalam keseharian. Luka yang tidak dramatis, tetapi jika dibiarkan, akan mengendap menjadi jarak antara warga dan pemerintahnya.

Suara Surabaya akan terus berada di tengah percakapan itu. Menjadi penghubung, bukan penentu. Menjaga agar suara warga tidak menghilang setelah dibaca. Karena kemajuan daerah tidak hanya diukur dari proyek yang selesai, tetapi dari seberapa jauh warganya merasa dilihat, didengar, dan dilibatkan dalam perjalanan bersama.

Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media

“Hidup di Sidoarjo, Begini Rasanya.”

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Perpaduan Macet dan Banjir di Kawasan Banyuurip-Simo

Banjir Menggenangi Sidosermo 4

Kecelakaan Bus Vs Truk Gandeng di Jembatan Suramadu

Perpaduan Hujan dan Macet di Jalan Ahmad Yani

Surabaya
Sabtu, 27 Desember 2025
31o
Kurs