“Pemerintah didesak menetapkan banjir dan longsor di Sumatra sebagai bencana nasional.” Desakan itu datang dari banyak arah. Salah satunya disampaikan oleh Darwin Darmawan, Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Alasannya, kapasitas daerah dianggap tidak lagi memadai. Wilayah terdampak meluas. Korban tinggi. Infrastruktur lintas kabupaten dan provinsi rusak.
Beberapa pihak juga menyampaikan opini dengan nada yang sama. YLBHI lewat tokohnya, Edy Kurniawan. Dia bilang dengan status nasional, negara bisa dan harus mengambil tanggung jawab lebih besar terhadap korban dan penyebabnya. Oesman Sapta Odang, Ketua Umum Partai Hanura juga menyampaikan hal senada. Ia meminta pemerintah segera menetapkan status bencana nasional untuk mempercepat penanganan di wilayah terdampak. Sejumlah LSM dan koalisi masyarakat sipil juga mendesak penetapan “Bencana Nasional”. Mereka menekankan aspek keadilan sosial dan tanggung jawab negara atas kerusakan ekologis serta korban yang terdampak.
Rujukannya juga tegas. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. PP Nomor 21 Tahun 2008. Semua indikator bencana nasional dinilai telah terpenuhi.
Desakan ini bukan sekadar soal status. Ia adalah pintu masuk untuk satu pertanyaan yang lebih dalam. Apa yang sungguh berubah jika bencana ini resmi dinyatakan sebagai bencana nasional.
Mari kita bayangkan sejenak.
Jika status itu ditetapkan, maka sejak hari pertama, komando akan berpindah penuh ke pusat. Struktur kendali dipusatkan di bawah BNPB. Gubernur, bupati, wali kota, tetap bekerja, tetapi bukan lagi sebagai pemegang komando utama. Mereka menjadi bagian dari sistem nasional yang dikendalikan dari satu pusat.
Dari sisi keuangan, beban akan beralih secara besar-besaran ke APBN. Dana siap pakai nasional bisa dimobilisasi lebih leluasa. Proyek rehabilitasi dan rekonstruksi akan naik kelas. Jalan nasional. Jembatan lintas provinsi. Relokasi permukiman. Semua akan masuk dalam skema anggaran pusat yang jauh lebih besar dari kemampuan APBD.
Dari sisi logistik, mobilisasi sumber daya akan melonjak. Pesawat angkut militer, kapal bantuan, gudang logistik nasional, rumah sakit rujukan, semua bisa dikerahkan tanpa sekat administratif daerah. Kecepatan bisa meningkat. Skala bantuan bisa bertambah.
Yang menarik adalah implikasi dari sisi politik. Status ini akan mengubah nada perbincangan. Ini bukan lagi krisis daerah. Ini akan menjadi krisis negara. DPR akan masuk lebih dalam. Audit akan dibuka lebih luas. Kebijakan lintas sektor, kehutanan, tambang, tata ruang, infrastruktur, semua berpotensi ditarik ke ruang sidang publik.
Dari sisi simbolik, satu kalimat akan berubah. Dari “bencana akibat cuaca ekstrem” menjadi “bencana nasional.”
Dan di situlah makna berpindah secara radikal. Negara tidak lagi hanya tampil sebagai penolong. Negara juga harus siap tampil sebagai pihak yang dimintai pertanggungjawaban atas sistem yang membentuk risiko.
Tetapi simulasi tidak berhenti di sana.
Jika bencana ini menjadi nasional, biaya politik bagi negara juga akan membesar. Setiap izin lama akan ikut disorot ulang. Setiap jengkal hutan gundul akan kembali dipertanyakan. Setiap DAS yang rusak akan kembali mengarah pada satu kata yang selama ini dihindari, pembiaran.
Jika bencana ini menjadi nasional, rekonstruksi fisik akan berjalan lebih cepat, tetapi godaan proyek juga akan membesar. Dan di situlah ujian tata kelola sesungguhnya. Bencana nasional selalu menjadi dua hal sekaligus. Ruang penyelamatan. Dan ruang godaan.
Jika bencana ini menjadi nasional, daerah akan mendapat afirmasi, tetapi juga akan kehilangan sebagian panggung pengambilan keputusan. Otonomi akan berjarak dengan darurat. Negara kembali menebalkan watak sentralistiknya demi efektivitas.
Semua itu adalah konsekuensi nyata dari satu keputusan administratif yang kini sedang didesakkan.
Namun di balik seluruh simulasi teknokratis itu, ada satu lapisan yang mungkin luput dari perhatian. Dan justru sebenarnya, ini yang paling menentukan: “lapisan makna”.
Selama ini kita menyebut bencana ini sebagai “akibat hujan ekstrem.” Langit dijadikan sebab utama. Alam dijadikan terdakwa tunggal. Negara berdiri sebagai penolong.
Tetapi jika status nasional ditetapkan, maka secara simbolik negara mengakui satu hal yang lebih berat. Bahwa bencana ini bukan sekadar peristiwa alam, tetapi peristiwa sistem. Bahwa air yang datang bukan hanya hasil awan, tetapi juga hasil kebijakan. Bahwa longsor bukan hanya soal curah hujan, tetapi juga soal cara manusia mengelola ruang hidupnya.
Di titik inilah penetapan bencana nasional bukan lagi soal logistik, tetapi soal kejujuran sebab. Tetapi justru di titik inilah pertanyaan etis itu harus diajukan dengan jujur.
Apakah kita menginginkan status nasional hanya agar bantuan lebih besar dan lebih cepat. Atau agar negara berani mengakui bahwa yang runtuh bukan hanya jembatan dan rumah, tetapi juga sebagian dari cara kita mengelola negeri ini.
Karena tanpa pengakuan simbolik itu, perubahan akan berhenti pada beton yang diperkeras kembali. Pada tembok yang ditinggikan. Pada sungai yang dikeruk sesaat. Lalu hujan berikutnya datang. Dan siklus kembali berulang.
Desakan untuk menjadikannya bencana nasional adalah desakan untuk memusatkan komando. Tetapi yang tidak kalah penting adalah desakan untuk memusatkan kesadaran.
Jika negara berani menyebutnya krisis nasional, maka negara sekaligus mengikat dirinya sendiri di hadapan publik untuk tidak lagi menyederhanakan bencana sebagai sekadar takdir cuaca. Artinya, maukah negara membuka kembali dokumen kebijakan. Mendalaminya, mengujinya, bukan hanya untuk mencari kesalahan di masa lalu. Tapi lebih pada mengoreksinya menjadi benar di masa depan.
Dan di situlah sesungguhnya ukuran kepemimpinan diuji. Bukan hanya pada seberapa cepat bantuan bergerak.
Tetapi pada seberapa dalam negara berani bercermin.
Kita tentu ingin semua bantuan datang lebih cepat. Kita ingin korban segera tertangani. Kita ingin pengungsian manusiawi. Kita ingin rekonstruksi berjalan. Itu mutlak.
Tetapi kita juga tidak ingin air datang lagi tahun depan dengan cerita yang sama. Dengan korban dari keluarga yang sama. Dengan desa yang sama. Dengan pernyataan yang sama, hujan lebih deras dari biasanya.
Air akan selalu turun dari langit. Itu tak bisa dicegah. Tetapi apakah ia akan terus menjadi cermin kelalaian kita, atau menjadi titik balik kesadaran bersama, itu tidak ditentukan oleh cuaca. Itu ditentukan oleh keputusan.
Dan keputusan itu hanya bisa lahir dari keberanian menamai sebab secara jujur.
Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media
“Bencana Nasional Itu Bukan Soal Status, Tapi Soal Keberanian Mengakui Sebab.”
NOW ON AIR SSFM 100
