Aliansi Buruh Menggugat (ABM) Jawa Timur menolak besaran UMK (Upah Minimum Kota) 2008 yang ditetapkan Gubernur Jawa Timur, Rabu (21/11) kemarin. Gubernur menetapkan UMK secara ilegal karena besaran UMK dibawah KHL (Kebutuhan Hidup Layak). Hal tersebut disampaikan JAMALUDIN Humas ABM menanggapi penetapan UMK Jawa Timur 2008.
Pada suarasurabaya.net, Kamis (22/11), JAMALUDIN mengatakan, besaran UMK 2008 tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada terutama Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.17/2005 tentang komponen dan tahapan pencapaian KHL.
Besaran UMK, dinilai JAMALUDIN, tidak didasarkan atas survei yang obyektif. Selama ini proses survei baik ditingkat Dewan Pengupahan Propinsi maupun Kabupaten/Kota, tidak valid dan akurat. Dalam survei tersebut menggunakan kualitas atau standar barang dibawah peraturan, misalnya, sewa kamar, listrik dan air.
Proses penetapan UMK selalu tertutup, tidak melibatkan buruh serta tidak demokratis. Ini termasuk pembahasan di Dewan Pengupahan baik kota sampai propinsi tertututp. Proses UMK 2008, tegas JAMALUDIN, penuh konspiratif dan koruptif karena ujung-ujungnya besaran UMK jadi murah dan rendah.
“Ini menyebabkan jutaan buruh dan keluarganya di Jawa Timur semakin miskin. Dengan UMK 2008, misalnya di Surabaya saja yang notabene kota besar apa bisa cukup bagi buruh hidup sebulan dengan Rp 805.500 saja. Apalagi untuk buruh yang sudah berkeluarga,”tukasnya.
Menurut JAMALUDIN, penetapan UMK 2008 Surabaya seharusnya sesuai 100% KHL (Rp 967.205) ditambah 10% inflasi, total sebesar Rp 1.063.925. Tapi kenyataannya, besaran UMK hanya Rp 805.500 saja, jauh dari harapan buruh.
Untuk itu, kata JAMALUDIN, hari ini ABM Jawa Timur akan melaporkan langsung ke Ketua Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) di Universitas Airlangga. Dasarkan, Gubernur dan Bupati/Walikota se Jawa Timur melanggar HAM yang membuat buruh semakin miskin.
Sedangkan agenda Jumat (23/11) besok, ABM Jawa Timur mengirimkan perwakilan sekitar 100 orang berunjukrasa ke kantor Gubernur. ABM Jawa Timur juga akan mempertimbangkan gugatan hukum untuk Gubernur maupun Bupati/Walikota.
“Gubernur dalam hal ini seolah-olah lepas tangan. Dia seharusnya bertindak sebagai decision maker bukan sekadar beri stempel penetapan saja. Karena proses penetapan UMK ada tahapannya mulai survei dari Dewan Pengupahan di Kabupaten/Kota, ditetapkan Bupati/Walikota, maju ke Dewan Pengupahan Propinsi dan ke Gubernur. Gubernur dalam hal ini tidak pernah memverifikasi apakah proses tersebut sudah berjalan dengan benar termasuk mengajak bicara dengan buruh,”pungkas JAMALUDIN. (tin)