Bambang Prasetya Kepala Badan Standarisasi Nasional (BSN) mengatakan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI), pada dasarnya bersifat sukarela. Namun untuk keperluan melindungi kepentingan umum, keamanan negara, perkembangan ekonomi nasional, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup, pemerintah dapat memberlakukan SNI, secara wajib.
Pemberlakuan SNI wajib, kata Bambang, dilakukan melalui penerbitan regulasi teknis oleh instansi pemerintah, yang memiliki kewenangan untuk meregulasi kegiatan dan peredaran produk (regulator). Sedangkan SNI sukarela, diperuntukkan untuk pelaku usaha, yang produknya tidak diwajibkan menggunakan SNI.
“Pemberlakuan SNI, itu sebelumnya melalui analisis terlebih dahulu, yaitu dengan Regulator Impact Analysis (RIA), untuk mengetahui seberapa besar dampaknya, dan menentukan apakah itu wajib SNI atau tidak. Itu memakan proses yang cukup rumit,” kata Bambang seusai melaunching acara Indonesia Quality Expo 2018, di Kantor Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jatim, Jumat (20/4/2018).
Penerapan SNI selama ini di Indonesia, lanjut Bambang, baik untuk produk maupun perusahaan, tercatat sekitar 49 persen untuk yang bersifat wajib. Sementara untuk SNI yang bersifat sukarela, mencapai sekitar 70 persen.
“Yang wajib, sekitar 49 persen saat ini. Kalau yang sukarela, trendnya naik terus. Memang tidak diwajibkan, tapi para pelaku usaha ini mau mengurus SNI, karena ingin menyuguhkan produknya yang terbaik,” tambahnya.
Adapun bagi pelaku usaha atau perusahaan yang dikategorikan wajib, tapi tidak mengurus sertifikat SNI, akan mendapatkan sanksi yang berlaku, diantaranya sanksi administrasi dan pidana.
“Jelas ada tindakan bagi pelaku yang melanggar. Tindakan itu nanti dikembalikan ke pihak Dinas Perdagangan dan kepolisian, sesuai UU No. 20,” tuturnya.
Bambang mengatakan standardisasi dilakukan untuk meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan maupun fungsi lingkungan hidup. Selain itu, juga bisa membantu kelancaran perdagangan dan mewujudkan persaingan usaha yang sehat.
“Dengan standarisasi, pelaku usaha maupun perusahaan bisa memasarkan produknya dengan aman, ke berbagai pasar, e-katalog dan perusahaan ritel,” tambahnya.
Sementara itu, Fattah Jasin Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekda Provinsi Jatim juga mengimbau pelaku-pelaku usaha segera melakukan standarisasi, agar bisa mengembangkan usahanya lebih luas atau mudah melakukan ekspor.
“55 persen dari produk domestik di Jatim merupakan dari usaha mikro kecil. Bagi pelaku usaha yang mau mengurus izin, hak cipta, atau SNI, kami bisa memberikan fasilitasnya melalui APBD. Silakan. Supaya kalau sudah berstandart, pelaku usaha bisa melakukan ekspor. Sebaiknya mereka masuk ke asosiasi tematik, yang nantinya bisa memudahkan standarisasinya,” kata dia. (ang/iss/ipg)