Jumat, 26 April 2024

Ekonom Unair: Pengeluaran Meningkat Bukan Indikator Ekonomi Membaik

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi berbelanja. Foto: pixabay

Pasca pandemi, pengeluaran masyarakat Indonesia tercatat meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) konsumsi masyarakat tumbuh 4,34 persen pada kuartal I 2022 dibandingkan kuartal pertama tahun sebelumnya.

Dr. Rumayya Batubara, Dosen Ekonomi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, yang juga merupakan peneliti di Pusat Kajian Sosio-Ekonomi Indonesia mengatakan bahwa pengeluaran bukan sebuah indikator terbaik untuk melihat kondisi ekonomi atau kesejahteraan masyarakat lebih baik.

“Kenaikan pengeluaran bukan berarti tingkat belanja yang tinggi, tapi bisa juga karena harga-harga yang naik. Misal, biasanya satu bulan Rp1 juta, sekarang jadi Rp1,2 juta. Bukan karena tambah banyak belanja, tapi memang tambah mahal harganya,” ucapnya saat berada dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Kamis (11/8/2022).

Menurutnya, indikator yang lebih tepat adalah pendapatan. Kalau pendapatan meningkat, kesejahteraan bisa meningkat.

Dalam kesempatan itu, ia juga menjelaskan bahwa pasca pandemi memang ada perbaikan ekonomi di Indonesia, ada peningkatan pendapatan. Tapi di sisi lain, perbaikan ekonomi tersebut diikuti oleh kenaikan harga. “Mulai dari harga energi listrik, Bahan Bakar Minyak (BBM) dan lainnya, jadi ada komponen inflasi di situ,” tukasnya.

Tidak semua masyarakat berpenghasilan sama, ada yang tinggi, menengah dan rendah. Menurutnya, jika harga kebutuhan pokok naik, pertama yang terdampak adalah pihak menengah ke bawah, karena semua masuk kebutuhan dasar.

Sementara itu, dari hasil polling yang dilakukan oleh Radio Suara Surabaya, ada beragam pendapat masyarakat terkait dengan pengeluaran. Ada yang mengatakan karena euforia berlibur pasca pandemi. Ada juga yang mengatakan karena munculnya fasilitas seperti pay letter, yang memberikan kemudahan untuk berhutang dan berbelanja.

“Karena sedang euforia, orang-orang sekarang cenderung pakai tabungan yang kemarin disimpan saat pandemi. Ada yang pengusaha tiba-tiba produksinya digenjot karena daya beli sedang tinggi. Nah, bahaya untuk tahun depan, karena sekarang belum normal,” ucap Mustofa, pendengar Radio Suara Surabaya.

Menanggapi hal tersebut, Rumayya mengatakan memang saat ini kredit bisa menjadi pendorong konsumsi. “Ya, itu juga bisa jadi pendorong. Konsumsi meningkat itu karena tiga hal yakni, gaji naik, penggunaan tabungan dan hutang. Nah itu terjadi seiring dengan meleknya teknologi, modal KTP sudah bisa dapat pembiayaan,” jelasnya.

Baginya, pasca pandemi ini masih berada di fase berat, apalagi ada perang Ukraina-Rusia. “Jadi seperti lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Perlu ada kebijakan reformasi ekonomi,” ucapnya.

“Pemerintah harus punya skala prioritas, mana yang harus diselamatkan terlebih dahulu. Masyarakat bawah saat ini, suaranya tidak begitu terdengar, karena akses teknologi. Menurut saya, ini adalah yang harus diprioritaskan,” tegasnya.

Sedangkan, untuk peluang meningkatnya pendapatan. Ia mengatakan bahwa jalan terbaik adalah berfikir kreatif, tidak menunggu pemerintah, karena, jika menunggu pemerintah akan lama, dan peluangnya hanya mendapat bantuan.

“Hukum ekonomi, dimana ada problem disitu ada kesempatan. Yang bisa berpikir kreatif bisa jalan ekonominya,” pungkaanya.

Dalam akhir pembicaraan, ia juga mengatakan bahwa problem ini bisa juga dilihat sebagai golden momen, yakni untuk menciptakan inovasi dan solusi kreatif tanpa harus menunggu pemerintah.(ris/rst)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 26 April 2024
28o
Kurs